Jakarta – Indonesia baru saja memperingati Hari Santri NAsional 2020. Momen bersejarah ini diperingati setiap 22 Oktober, sejak tahun 2015, seiring diterbitkannya Keputusan Presiden No 22 tahun 2015 tentang Hari Santri.
Penetapan Hari Santri antara lain didasarkan pada Resolusi Jihad yang dicetuskan dan dibacakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. HAsyim Asyari pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini didukung oleh tokoh-tokoh dari berbagai organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Matlaul Anwar dan lainnya.
Ketua Umum Masyarakat Pesantren, KH. Hafidz Taftazani menyingkap lembaran santri dari lembaran zaman sahabat sampai santri hari ini.
“Film ‘Santri’ diteriaki oleh kelompok yang sangat puritan (berpandangan sempit) atau karena memang tidak suka kepada santri, dimana film Santri dalam adegan santri masuk gereja kelompok tersebut teriak-teriak seakan-akan santri adalah muslim yang telah murtad. Atau menjual keislamannya untuk kepentingan santri itu sendiri,” ucap KH. Hafidz.
Jika kita kembali kepada sahabat Umar, lanjutnya, ketika beliau membuka Palestina, pada saat sahabat Umar membuka Palestina, orang-orang Kristen di sekitar Masjidil Aqsho memberikan penghormatan dan memasukkan Sayyidina Umar ke dalam satu gereja. Setelah ada pembicaraan bertukar pikiran, Sayyidina Umar ditawari untuk sholat di dalam gereja.
“Sahabat umar menolak dengan mengatakan, kalau saya sholat di gereja, nanti orang-orang Islam akan pada sholat di gereja, nanti apa yang akan terjadi,”ucap KH. Hafidz.
Maka Sayyidina Umar keluar dari gereja tersebut dan sholat di kira-kira 20 meter di depan gereja, yang kemudian diberikan nama Masjid Umar.
“Gusdur pada saat diundang oleh salah satu gereja dan beliau ada di dalamnya, pada saat misa, kemudian diteriaki bahwa Gusdur telah dibaptis dan masuk Kristen, hal tersebut dilakukan bukan karena dia tidak tahu kalau Gusdur tidak mungkin sebodoh itu, tapi karena orang-orang yang teriak tersebut adalah orang-orang yang benci kepada Gusdur,” ucap KH. Hafidz.
Diakhir-akhir ini, beberapa pesantren yang didalamnya diajarkan perbandingan agama (mukoronatul adyan), mereka datang ke gereja pada saat misa. Untuk belajar tentang perbandingan agama antara Islam dengan Nasrani atau agama lainnya. Dan mereka juga masuk2 ke sekolah-sekolah kristen katolik untuk hal yang sama.
“Banser yang kebanyakan adalah santri-santri, menjaga gereja pada saat hari Natal dan menjaga kepentingan-kepentingan agama lainnya dalam rangka toleransi dan melakukan kebhinekaan. Apakah masih ada yang meragukan keislaman sahabat Umar RA, keislaman Gusdur , kesantrian Banser dan santri-santri yang belajar perbandingan agama di gereja-gereja dan sekolah-sekolah agama non Islam?,” ucap KH. Hafidz.
Kebesaran-kebesaran Santri
Menurut KH Hafidz Taftazani, Santri adalah yang telah mengisi kemerdekaan tanpa pamrih, mencerdaskan bangsa tanpa pamrih, menggerakkan sosial tanpa pamrih. Santri setelah pulang dari pesantren mereka berbaur dengan masyarakata mendirikan mushola, masjid, sekolahsekolah agama, mendirikan pesantren, yang semuanya dimulai dari diri sendiri dengan mengajak masyarakat berswadaya sehingga mushola, masjid, madrasah, pesantren semuanya berdiri tanpa dukungan dana dari pemerintah.
“Kalau saja para santri tidak membikin masjid, madrasah, pemsantren untuk mengisi keimanan masyarakat Indonesia, kira2 apa yang akan terjadi?,” ucap Kiyai lulusan Ummul Quro, Makkah.
Seperti di negara-negara di asia atau dimanapun, dimana tidak ada kebersamaan untuk melakukan kegiatan masyarakat dan keagamaan. Hampir 75 persen generasi mudanya mabuk, di kereta, bus dan dimana saja.
“Jika saja para santri tidak membikin sekolah-sekolah keagamaan, mungkin di setiap kabupaten hanya beberapa sekolah-sekolah MI, MTS dan MA yang perbandingannya hampir rata-rata 3 berbanding 30 MTS,”paparnya.
Menurutnya, para santri mengajar di sekolah-sekolah tersebut tanpa pamrih untuk mendapatkan imbalan atau gaji. Dan generasi yang mereka cetak adalah generasi yang berakhlak karimah.
“Masihkah ada keragu-raguan tentang kebangsaan dan keindonesiaan santri?,” pungkas KH Hafidz.