FeaturedNews

Pengangkatan PJ-KDH Dari ASN Sangat Riskan Dilakukan

242
×

Pengangkatan PJ-KDH Dari ASN Sangat Riskan Dilakukan

Share this article

Timredaksi.com, Jakarta – Berlokasi di Kopi Bangsa area Pusjarah TNI – Museum Satria Mandala Jl jend. Gatot Subroto Jakarta, diselenggarakan acara webinar tentang Mencermati Akibat Wacana Pengangkatan ASN (Aparatur Sipil Negara) mengisi Kekosongan Kepala Daerah 2022-2024 yang diselenggarakan Institut Otonomi Daerah (i-OTDA).

Pengangkatan Penjabat (PJ) kepala daerah,(Gubernur,Walikota, Bupati) dari pejabat struktural ASN setingkat  eselon 1 untuk propinsi atau eselon 2 untuk kabupaten/kota,  lumrah dilakukan dalam praktik pemerintahan selama ini. Khususnya bila terjadi kekosongan akibat kepala daerah yang bersangkutan berhalangan tetap (meninggal /sakit permanen) atau berhalangan sementara karena cuti kampanye.

“Cuti sementara biasanya, dua bulan, tiga atau empat bulan, hanya dalam bilangan bulan saja. Dengan demikian PJ itu hanya menjadi caretaker pengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan sementara,” papar Prof Djohermansyah Djohan, pendiri Institute Otonomi Daerah (i-OTDA) pada acara konfrensi pers yang diselenggarakan di Kopi Bangsa area Museum Satria Mandala Jakarta (10/2).

Munculnya caretaker dalam pemerintahan berfungsi sebagai penjaga agar tugas tugas pemerintahan sehari hari  tidak berhenti, gara-gara tidak ada pemimpin. No vacuum of power adalah azas yang menjadi landasannya, dimana tidak boleh ada kekosongan satu detikpun kekuasaaan pemerintahan.

Saat ini ada situasi yang tidak lazim,  dimana akan ada  pengangkatan penjabat kepala daerah dari ASN dengan waktu yang cukup lama. Berapa lama? Bisa satu tahun, dua tahun bahkan hampir tiga tahun.

Kondisi ini yang sangat mengkhawatirkan karena ada peristiwa politik kedepan di 2024 terkait pemilu legaislatif, pilpres dan pilkada serentak nasional.  Kekosongan kepala pemerintahan daerah akan dimulai pada waktu dekat ini 12 Mei 2022. Kekosongan kepala pemerintahan daerah meliputi 272  gubernur,walikota hingga bupati di Indonesia. Total Jumlah Penduduk di 25 daerah provinsi yang kosong KDH-nya mencapai  243.992.959 (90% jumlah penduduk).

Margarito Kamis sangat sepakat dan mendukung apa yang disampaikan Djohermansyah. Menurutnya, tidak hanya soal jangka waktu yang lama seorang penjabat mengisi kekosongan kepala daerah yang menjadi masalah, tapi penunjukkan penjabat itu sendiri juga sudah menyalahi demokrasi di Indonesia sebagai negara yang berbentuk republik. “Ini hal yang sangat mendasar. Kepala daerah itu dipilih, bukan ditunjuk,” tegasnya.

Margarito juga setuju sekali dengan solusi yang dilontarkan Djohermansyah untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah pada tahun 2022 & 2023. Di mana dari segi payung hukum, proses perpanjangan masa jabatan lebih sederhana. Tidak perlu membuat regulasi baru. Cukup merevisi pasal 201 ayat 8, 9 dan 10. Bahkan, bila keadaan sangat mendesak atau genting, presiden bisa menetapkannya dengan Perppu.

“Ini sangat menarik. Dengan hanya satu pasal itu, kita bisa mencapai prinsip-prinsip demokrasi, prinsip administrasi dan lainnya. Memperpanjang masa jabatan, manfaatnya jauh lebih besar,” imbuhnya.

Baca Juga  Acara Santunan Tiap Bulan Jumat Berkah dari Citra Management

Hal senada dikatakan Siti Zuhro yang mengungkapkan pengisian kekosongan kepala daerah dengan penjabat bisa menimbulkan resistensi dari masyarakat dan birokratnya.

Sebagai peneliti yang konsen terhadap demokrasi di tanah air, Siti Zuhro mencatat terjadinya politisasi birokrasi yang serius selama pilkada langsung. “Kita ingin pembangunan sustainable. Berkelanjutan Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap birokrasi ini,” ujarnya.

Suara keberatan atas penunjukkan penjabat yang mengisi kekosongan kepala daerah juga datang dari Ketua Dewan Adat Papua Barat, Isa. Ia katakan, penunjukkan penjabat menggantikan gubernur dan wakil gubernur Papua Barat akan mengganggu suasana kondusif akan kamtibmas di masyarakat.

“Kehadiran kami di sini untuk menyampaikan kondisi kekhususan kami. Silahkan di daerah lain untuk ditunjuk penjabat, tapi di daerah kami untuk diperpanjang masa jabatannya. Kondisi kamtibmas sangat fluktuatif. Butuh tokoh karismatik yang kami pilih,” ujarnya.

Kenyataan di Papua dan Papua Barat seperti itu diamini Ketua MUI Papua Barat Kiai Ahmad Nassau dan  Ketua Dewan Adat Papua Barat Mananwir Paul Finsen Mayor, yang hadir dari Papua Barat di acara konfrensi pers  yang digelar Institute Otonomi Daerah (i-OTDA) di Jakarta.

Mewakili masyarakat Papua Barat, mereka menceritakan bahwa kondisi otonomi khusus yang sekarang ini juga diberi kewenangan dan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan masyarakat Papua dan Papua Barat.

“Kami di Papua dan Papua Barat masih sangat membutuhkan pejabat definitif yang legitimet, yang dipilih langsung oleh rakyat. Diakui ketokohannya oleh masyarakat, Kami MUI Papua mendukung perpanjangan masa jabatan kepala daerah,” ujar Kiai Ahmad Nassau

Khusus Papua Barat misalnya, adalah daerah konflik. Dimana kepala daerah sementara yang akan menjabat tentu harus benar benar memahami berbagai hal, bukan hanya masalah program kerja pemerintahan daerahnya saja. Dibutuhkan orang yang benar benar mengetahui masalah penanganan konflik dan kearifan lokal harus benar benar dipahami baik.

“Karena apa? Akan menambah masalah baru, bila pada daerah daerah rawan konflik ditempatkan orang yang tidak tepat dalam memegang pemerintahan disana tentunya,” ujar Djohermansyah menjelaskan.

Menurut Djohermansyah, bisa jadi pembuat undang undang No 10/ 2016, tentang pilkada tidak mengantisipasi dan mengkaji dengan cermat keadaan keadaan ini, ditambah kurangnya awareness pemerintah dalam menyikapi persoalan ini. Itu sebabnya pakar pemerintahan daerah yang tergabung dalam Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) mendalami secara cermat apa apa saja akibat yang akan ditimbulkan kedepan, bila kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 -2024 diisi dari ASN.

Permasalahan yang akan muncul bila kepala daerah yang habis di bulan Mei 2022 hingga 2024 bila jabatan kepala daerah diserahkan pada ASN bisa jadi mereka tidak fokus memimpin wilayah yang hilang kepemimpinan definitifnya

Baca Juga  Awal Bulan Dzulhijah 1444 H Jatuh Pada Hari Selasa 20 Juni 2023

“Ketidak fokusan itu bisa terjadi, bila jabatan tersebut diserahkan pada ASN. Kenapa begitu? Karena ASN memiliki kewenangan terbatas disamping ASN tidak boleh melepas jabatan strukturalnya di ASN,” ujar Djohermansyah.

Persoalan lain yang akan dihadapi Pj kepala daerah dari ASN, yaitu bila terlalu lama tentu mereka akan menangani APBD, dimana ASN harus berhadapan dengan para politisi daerah di DPRD untuk pembahasan anggaran. Hal ini tentu akan menjadi kendala besar dimana ASN tidak di training untuk urusan politik praktis.

Kekhawatiran lain menurut Djohermansyah dalam proses pengangkatan penjabat penjabat kepala daerah tersebut, bisa jadi muncul kolusi, suap,  yang dibiayai pihak pihak tertentu yang memiliki kepentingan atas daerah tersebut agar semua kepentingan pemodal dapat berjalan lancar.

Karena waktu yang terlalu lama menjabat bisa jadi  membuat Pj tergoda menyelewengkan kekuasaan, korup dan sebagainya. Belum lagi penanganan masalah pandemi yang tak rundung usai, ini juga menjadi sebuah persoalan cukup pelik dalam penyelesaian masalah dilapangan, karena apa? Karena Pj  menjabat di dua kaki, di daerah dan struktural ASN, yang bisa menjadi kendala yang cukup serius,  disamping bisa jadi mereka belum tentu mampu menangani kasus tersebut dengan pengalaman dilapangan yang kurang sebagai satgas covid.  Kelemahan lain, para Pj hanya sendiri menjabat tanpa wakil.

Pj yang diangkatpun tidak memiliki visi misi dalam wilayah penugasannya. Ini tentu akan memunculkan persoalan lain yang akan dihadapi seorang Pj dalam menggerakkan pembangunan daerahnya. Berbeda dengan kepala daerah yang melewati pilkada, nereka dipilih rakyat, punya  legitimasi kuat, serta memiliki visi dan misi serta program dalam membangun wilayahnya. Itu sebab adanya pilkada itu banyak manfaat dalam proses pembangunan wilayah yang tidak begitu saja bisa dihilangkan.

“Bila pengangkatan Pj kepala daerah ini tetap dilakukan, secara demokrasi sama saja kita lebih mundur dari  zaman Orba. Di zaman orba saja, kepala daerah masih  dipilih lewat DPRD.” Ungkap Djohermansyah

Untuk sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, menurut Prof Djohermansyah Djohan, akan lebih sehat dan bermanfaat bila  dilakukan perpanjangan masa jabatan, bila pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Selain kepala daerah tersebut punya legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyatnya, mereka juga sudah berpengalaman lama.

“Deepening Democracy inilah yang harus dikembangkan, dimana pendalaman demokrasi Indonesia, dilakukan lewat pemilihan secara langsung yang diterapkan sejak 1 Juni 2005. Ini harus tetap dijaga,” ujar Djohermansyah untuk mencari solusi  atas problem yang lebih besar yang kemungkinan akan timbul didepan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *