Uncategorized

Rasisme di Papua: Mengapa Tak Belajar Dari Gus Dur

46
×

Rasisme di Papua: Mengapa Tak Belajar Dari Gus Dur

Share this article

Rasisme di Papua: Mengapa Tak Belajar Dari Gus Dur

Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Bangsa Indonesia dikenal bangsa yang ramah, rakyatnya punya keluhuran hati nurani, dan mencintai harmoni dan kedamaian antar sesama. Bangsa Indonesia pernah punya pemimpin yang mencintai kemanusiaan dan dekat di hati rakyat Papua. Dia adalah Presiden Abdurrahman Wahid, yang dikenal dengan Gus Dur.

Kebijakan dan cara Gus Dur memberlakukan bangsa Papua yang bermartabat itu selalu dikenang dan meninggalkan jejak sejarah berharga bagi kehidupan dan kemanusiaan bangsa Papua. Gus Dur merepresentasikan nilai kultur keluruhan hati nurani kepada dunia, Indonesia, dan juga secara khusus rakyat dan bangsa Papua. Bahkan, bagi bangsa Papua, Gus Dur merupakan simbol nyata dari kehidupan rakyat Indonesia. Ia mewujudkan bangsa Papua berdampingan dengan bangsa Indonesia. Pada tahun 2000, Gus Dur mewujudkan bendera Bintang Kejora berkibar bersama dan berdampingan dengan bendera Merah Putih.

Jejak bersejarah Gus Dur itu sayangnya tidak berlanjut. Seiring dengan serangan politik kepada dirinya, hingga berakhir dengan lengsernya Gus Dur sebagai presiden, benih sejarah kedamaian itu terus dikubur oleh para penguasa dan rezim sesudah Gus Dur. Perubahan itu berputar cepat 360 derajat, Tanah Papua yang damai kembali bergolak dengan kebijakan dan tindakan represif yang menyulut konflik pecah di berbagai wilayah di Tanah Papua.

Wacana dan narasi kedamaian dan menghormati martabat masyarakat Papua pun terobek, dan digantikan dengan narasi-narasi yang menghancurkan hakekat dan nilai-nilai luhur bangsa Papua. Wajah Indonesia di mata rakyat dan bangsa Papua berubah menjadi angkuh, sombong, dan jahat.

Pemimpin dan rezim kekuasaan berperan dalam menciptakan kekerasan dan konflik orang-orang asli Papua diberi label dan stigma separatis, makar, OPM, dan KKB agar pihak-pihak yang berwenang dibolehkan melakukan tindakan-tindakan represif, yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijunjung bangsa dan negara Indonesia.

Dibalik jargon keamanan dan kepentingan nasional, kedaulatan NKRI, dan NKRI harga mati, negara dan pemerintah, termasuk para elite, mengeksploitasi kekayaan alam bahkan menangkap dan membunuh rakyat Papua.

Belakangan ini, pemerintah Indonesia menutup mata dan hati terhadap jerit derita rakyat Papua yang miskin, kualitas hidup yang buruk, dan diskriminasi. Mereka beberapa kali melakukan tindakan rasisme, yang justru ditentang oleh salah satu pemimpin dan presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid. Beberapa kutipan para pemimpin itu bisa direkam dan dilihat kembali bahwa rasisme terhadap rakyat Papua itu benar-benar nyata, alih-alih tak dihapus, justru dipelihara dan dipakai untuk menjatuhkan martabat rakyat dan bangsa Papua.

Baca Juga  Pertama di Cianjur, Ikbal Baitul Arqom Gelar Vaksinasi Bagi Kiai dan Santri

Misalnya, beberapa ungkapan yang tidak simpati dalam melihat orang asli Papua dilontarkan oleh para pemimpin dan tokoh bangsa Indonesia serta dari kalangan pemerintah. Menteri Sosial Tri Rismaharini melontarkan kemarahannya kepada para ASN di Balai Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat pada 13 Juli 2021, seperti dikutip Tempo.co, “Sekarang saya nggak mau lihat seperti ini, kalau saya lihat lagi, saya pindahkan ke Papua, saya nggak bisa mecat kalau nggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua sana teman-teman.” Pernyataan itu, menimbulkan kontroversi publik karena dianggap rasis terhadap orang-orang asli Papua, yang wilayahnya sebagai tempat pembuangan.

Pernyataan yang menyinggung rakyat Papua juga pernah dilontarkan oleh tokoh intelejen dan militer Indonesia, A.M. Hendropriyono pada Juni 2021, saat berbicara di Seskoad, yaitu “memindahkan sekitar 2 juta penduduk Irian Jaya ke Manado. Sebaliknya, orang-orang di Manado dipindahkan ke Papua.” Ia ingin memisahkan orang Papua dari Papua New Guinea yang punya ras sama, supaya merasa tidak terasing dengan orang Indonesia, sehingga mesti tinggal di Manado.

Para pemimpin negeri ini, sekali lagi, tak belajar dari pengalaman Gus Dur, yang menghargai budaya dan menghormati orang Papua sebagai manusia yang bermartabat. Para pemimpin, yang dicontohkan dengan sikap diatas, tentu masih ada yang lain, justru menjadi bagian negara yang menciptakan tindakan rasisme kepada orang Papua secara terstruktur dan sistematis di dalam kekuasaan pemerintah dan negara Indonesia.

Rasisme ialah musuh utama dunia. Rasisme ialah musuh semua umat manusia, apapun latar belakang dan status sosialnya. Perbuatan rasisme yang merendahkan martabat manusia adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dan membangkitkan kemarahan seluruh umat manusia di planet ini.

Hal itu terjadi saat tindakan rasisme dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang pada 15-17 Agustus 2019 yang dilakukan oleh organisasi massa dan didukung oleh aparat keamanan setempat telah memicu kemarahan rakyat dan bangsa Papua serta kelompok solidaritas dengan melakukan demonstrasi damai di Tanah Papua, kota-kota studi di luar Papua hingga beberapa kota di luar negeri: kawasan Pasifik, Asia Tenggara, Eropa, Afrika, dan Amerika Serikat.

Baca Juga  Mapala Cianjur Peduli Semeru

Theo van den Broek dalam bukunya “Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum (2020:5) dengan tepat menggambarkan situasi tersebut: “Faktanya bahwa orang Papua dinilai sebagai ‘sekumpulan monyet’ memang sangat tidak dapat diterima orang asli Papua (OAP) maupun orang non asli Papua. Penilaian ini dialami sebagai suatu penghinaan berat sekaligus suatu kontras yang ekstrim dengan sikap yang selalu ditunjukan bangsa Papua dalam penerimaan ribuan orang dari luar Papua (migran) yang mau menetap dan mencari nafkahnya di Tanah Papua. Pengalaman bahwa mereka (OAP) digambarkan sebagai ‘monyet’ merupakan suatu pukulan yang sangat keras, sangat tidak dapat diterima dan merendahkan harga diri orang Papua.”

Selain itu, perlakuan rasisme juga terjadi pada pemain Persipura diluar Papua, terjadi didepan negara dan aparat keamanan, namun mereka diam seribu bahasa. Rasisme terhadap Natalius Pigai, yaitu fotonya disejajarkan atau dipasang bersebelahan dengan foto monyet dan viral tetapi negara dan aparat kepolisian tidak memperdulikannya.

Kemudian ujaran rasisme terhadap “pahlawan nasional” Frans Kaisepo dalam mata uang Rp 10.000. Nurazisah Asril dalam akunnya: “Saya tidak setuju dengan gambar uang baru yang mukanya menyerupai monyet.!!! Bukannya memasang wajah pahlawan malah memasang wajah seperti itu.” Ujaran rasisme yang dilandasi kebencian ini yang sudah viral tetap dibiarkan oleh penegak hukum.

Melihat fakta rasisme dari militer dan warga sipil Indonesia, menandakan bahwa rakyat dan bangsa Papua tidak mempunyai masa depan yang baik dalam rumah besar bernama Indonesia. Ada operasi militer, operasi transmigrasi, dan sebagainya bertujuan untuk menyingkirkan rakyat Papua dari tanah leluhurnya. Inilah upaya-upaya yang memperburuk situasi kemanusiaan yang dialami oleh rakyat Papua.

Walaupun ada kekejaman, tetapi kami rakyat dan bangsa Papua mempunyai harapan masa depan yang lebih baik, damai dan harmoni di atas tanah leluhur karena meyakini adanya kekuatan tanmpa kekerasan yang terus bergerak memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan martabat orang Papua dari berbagai pihak.

Saya juga percaya, nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur, telah tumbuh dan berkembang di kalangan generasi muda saat ini. Orang-orang muda di berbagai daerah di Tanah Air inilah yang menjadi energy lebih positif dan menerima keterbukaan terhadap apa yang dialami dan diperjuangkan oleh orang Papua.

Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *