Ajaran agama Islam didalamnya mengandung ajaran akidah, syariat, muamalah (interaksi sosial) ijmaiyah (perkumpulan/ organisasi) maupun siyasah (politik). Islam juga selalu hadir di dalam dinamika demokrasi.
Dalam menjalankan syariah Islam, kita mengambil kepada Al-Quran dan Hadits kemudian pendapat-pendapat yang disebut fikih, seperti Ijma dan Qiyas. Dalam melakukan syariah di Indonesia pada dasarnya yang dibawa adalah akidah dan syariah yang semuanya didasari pada Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas para ulama. Sehingga, segala sesuatunya pada saat kemerdekaan Republik Indonesia yang dipelopori oleh kaum muslim sangat teratur dengan selalu berdasar pada 4 kaidah yang menjadi landasan-landasan kehidupan beragama.
Kemudian datanglah satu madzhab modern yang tetap menyatakan bahwa dirinya adalah ahlussunah wal jamaah tetapi dalam prakteknya ia bertentangan dan tidak sama di dalam menerjemahkan ahlussunah wal jamaah. Dimana, ahlussunah wal jamaah oleh sekelompok orang dimaknai bahwa itu adalah Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas, akan tetapi ia tidak menggunakan Ijma Qiyasnya dan hanya menggunakan Quran dan Hadits saja sehingga mulailah terjadi satu perbedaan-perbedaan dalam memaknai syariah.
Disinilah mulai muncul dinamika perbedaan, orang mengatakan Sholat Jumat itu harus memakai adzan dua kali, dasarnya adalah Ijma dimana itu dilakukan oleh Sahabat Rasulullah yaitu Usman. Tapi ada satu keolompok lain mengatakan adzan cukup dengan satu kali. Alasannya adalah di zaman Rasulullah tidak pernah ada. Dalam hal ini terjadilah pertentangan, satu menyatakan ahlussunah wal jamaah tapi tidak adzan dan satu menyatakan ahlussunah wal jamaah tapi adzannya dua kali. Begitujuga masalah-masalah lain sepeti puasa dan amalan-amalan lainnya.
Persoalan sekarang adalah bahwa, syariah yang kita jalankan itu adalah bagimana sumber-sumber syariah itu mulai dikerjakan, sumber-sumber syariah itu adalah bagaimana dinamika perjalanan syariah itu sendiri. Pada zaman Rasul, mereka berpegang pada Quran dan Hadits kemudian di zaman sahabat itu mulai terjadilah penulisan Al-Quran, tetapi hadits masih berserakan dimana-mana. Sehingga disini para ulama mengumpulkan Quran dan Hadis dalam satu ukuran tatanan. Maka jadilah suatu kaidah fikiyah atau ushul fikih yang bersandar pada Quran dan Hadits.
Sekarang cara berpikir mereka mulai berubah. Dimana sekarang mereka menggunakan hadits tanpa fikih. Padahal datangnya Imam Bukhori dan Imam Muslim yaitu setelah meninggalnya Imam Syafi’i. Imam Bukhori maupun Imam Muslim di dalam berfikih mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Tetapi sekarang mereka berbeda, menggunakan hadits yang dikumpulkan oleh Imam Bukhori dan Muslim namun tidak menggunakan fikih, padahal Imam bukhori dan Imam Muslim sendiri menggunakan madzhab yang ada di 4 madzhab, baik Hanafi, Maliki, Hambali maupun Syafi’i.
Maka perkembangan demokrasi dalam keislaman sudah berubah jauh, itu sangat mempengaruhi terhadap kehidupan kita sehingga banyak sekali orang yang mengatakan bahwa kita tidak bisa menerima fikih, kita hanya akan menerima jika ada Quran dan hadis Bukhori Muslim. Jadi begitu sempitnya dalam berfikir beragama. Hanya ada Bukhori Muslim baru akan dia pakai.
Dari berbagai aliran yang ada terus berkembang sampai pada aliran orang yang sholat. Bahkan, aliran ini mengeluarkan ultimatum yaitu seperti ‘Alaikum bil baingah, la addin ‘ala Islama bil Baingah, yang artinya adalah orang yang tidak dibaiat maka Islamnya tidak benar, mereka mau bikin sekte-sekte yang Islamnya tidak jelas.
Kemudian sekte itu menjadi sekte baru yang ada di Indonesia, sekte yang menyatakan bahwa anda harus dibaiat saya agar islamnya benar. Setelah itu banyak doktrin-doktrin seperti mayit yang tidak boleh disholatkan sama orang lain, Masjidnya tidak boleh untuk sholat oleh orang lain. Itu merupakan paham sempalan yang benar-benar sudah keluar dari Ahlussunah wal jamaah.
Paham-paham sempalan ini sudah berada dimana-mana di pemerintahan, masuk ke ASN, baik di kementerian agama, maupun di kementerian-kementerian lain, bahkan disinyalur sudah masuk di tubuh TNI-Polri. Bahkan di Indonesia timur, ada satu kelompok masyarakat, satu sekte tertentu yang puasanya sudah tidak menggunakan kaidah-kaidah fikhiyah Quran dan hadits tapi menggunakan kaidah alam. Dia mau berpuasa ketika melihat kepada ombak laut.
Tetapi itu menjadi bagian demokrasi di Indonesia, kita sudah tidak bisa untuk melarang hal-hal semacam itu. Saking tidak adanya satu kaidah yang dipegang oleh negara sekarang membuat cara berpikir kita carut marut. Padahal di dalam kaidah ushuliyah mengatakan ‘Hukmul Kodi Yarfaul Khilaf’ jika pemerintah sudah mengambil keputusan, orang sudah tidak ada lagi untuk khilaf atau berpolemik. Kalau pemerintah sudah mengatakan puasa jatuh hari rabu semua harus ikuti pemerintah. Tapi disini masih sering terjadi, yang mengatakan bahwa saya mempunyai faham seperti ini, faham ini tidak bleh dicampuri, faham ini mutlak dan ini kebebasan. Padahal, kebebasan kita dibatasi oleh ushuliyah hukmul kodi yarfaul khilaf, dalam kondisi seperti ini faham sudah campur aduk tidak jelas.
Pada saat MUI mengatakan bahwa korona itu sesuatu yang dihindari maka jika sholat harus ada jarak, sholat jangan di masjid, namun disini itu diabaikan. Padahal di negara-negara Arab, kalau pemerintah mengatakan jangan sholat di masjid, mereka mematuhi. Hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk kebaikan masyarakat adalah mengikat.
Perkembangan di dalam syariah sudah campur aduk tidak jelas, padahal rambu-rambu sangat penting, dasarnya adalah madzhab. Kenapa harus pakai madzhab? sebab kalau tidak pakai madzhab akan tabrakan. Tidak ada di negara Islam tidak menggunakan madzhab. Arab Saudi memakai madzhab Ahmad bin Hambal (Hambali), Pakistan madzhab Hanafi, Mesir madzhab Hanafi, Maroko madzhab Hanafi, Indonesia madzhab Syafii. Semuanya menggunakan madzhab agar tidak ada orang bertabrakan didalam melakukan akidah dan syariah.
Begitu juga dengan persoalan muamalah, kita juga sudah campur bawur tidak jelas. Dalam masalah politik, kita sudah jungkir balik bermacam-macam. Dulu zaman orde baru, berdakwah tidak boleh kecuali sudah punya izin dari pemerintah, begitu sulitnya orang berdakwah. Orang naik podium harus punya izin dari kepolisian, harus punya izin dari kecamatan, kalau tidak dia diturunkan. Kemudian peraturan berubah lagi, tidak harus pakai izin, cukup memberitahukan saja agar keamanan dapat mengawasi jika terjadi sesuatu didalam perkumpulan yang dilakukan. Demokrasi semacam ini dianggap lebih baik dari negara lain dimana berkumpulpun sudah sulit, tapi di Indonesia sudah mudah.
Tapi disini, berkembang sekali dengan masalah politik. Ketika keislaman dicampuradukkan dengan masalah-masalah politik yang selalu digunakan pada saat kepentingan pergantian kekuasaan. Menjelang pemilu, ada sekelompok masyarakat selalu dibully, orang Islam ko menjaga gereja, tapi sekarang berubah ketika sudah tidak ada pemilu. Sekarang kelompok lain yang dulu bilang ngapain jaga gereja, sekarang dia mulai menjaga gereja tanpa mengatakan dia dulu melarang menjaga gereja.
Satu kelompok juga, GP Anshor, pada saat Sa’I dia mengumandangkan ‘Yalal Wathon’ secara bersama-sama kemudian jadilah masalah besar padahal disana ada kelompok yang lain yang didalam melaksanakan doa menggunakan bahasa Indonesia yang tidak lebih apa yang dibacakan oleh Anshor.
Demokrasi yang seperti ini, apakah tidak ada pikiran dari pemerintah untuk mencari lagi untuk meluruskan bagimana agar kita tidak menjadi tatanan masyarakat yang begitu bebas dan carut marut didalam maslaah keagamaan. Sehingga, dalam satu daerah kita sangat bersedih, agama dipertentangakan sama satu kelompok yang masing-masing belum tentu berdasarkan kepada syariat dengan cara yang benar.
Refleksi hijriyah ini harus menjadikan satu pemikiran pembaruan Islam agar Islam di Indoneisa tidak dalam satu pengertian yang bermacam-macam, dalam pengertian yang sangat bebas yang akhirnya orang melihat Islam itu dengan cara rendah karena dianggap Islam membingungkan.
Di tahun hijriyah ini, bisakah umat Islam merefresh kembali, mengilas balik bagaimana Islam di Indonesia harus menjadi Islam yang tidak membingungkan sehingga orang Islam sendiri tidak menjelakkan Islam.
Tugas Kementerian Agama, MUI dan dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah untuk merumuskan kembali kaidah-kaidah keislaman kita yang benar dan menjadi rujukan kaum muslimin di Indonesia.
Penulis : Ketua Umum Masyarakat Pesantren sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum KH. Hafidz Taftazani
Editor : Sundoro, Wartawan Siaran Indonesia