Namun dirinya keberatan karena adanya perbedaan akidah dan ajaran antara keyakinannya dan agama ketiga anak sebagai Kristen Saksi-Saksi Yehuwa.
Karena ketiadaan pelajaran Agama, Sidang Jemaat Kristen Saksi-Saksi Yehuwa Tarakan pernah mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2021, yang menerangkan bahwa selama tahun ajaran 2019-2020, ketiga anak tersebut belajar Agama di tempat ibadahnya.
Meskipun seharusnya itu bisa dipertimbangkan sebagai sumber pendidikan Agama dari Lembaga masyarakat (non-formal), namun sekolah mengabaikannya dan tetap memutuskan agar ketiga anak tidak naik kelas.
“Sekolah telah melanggar hukum dengan sama sekali tidak memberikan pelajaran Agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan Agama dari ketiga anak”, ujar Retno.
Retno menambahkan, sekolah bukan hanya tidak mampu memberikan pendidikan agama dari guru yang seagama bagi ketiga anak tersebut, sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundangan. Namun dengan aktif menghalangi ketiga anak mendapatkannya.
Pada kasus kedua ini, PTUN Samarinda memutuskan bahwa keputusan sekolah untuk membuat ketiga anak tidak naik kelas karena pelajaran agama adalah keputusan yang keliru, karena dilatarbelakangi pada tindakan diskriminatif yang tidak menghormati hak ketiga anak atas keyakinan agama dan pendidikan yang berkelanjutan.
Atas keputusan PTUN tersebut, sekolah mengajukan banding atas putusan tersebut dan sekarang sedang dalam proses Kasasi. Meski tahun ajaran 2019-2020 berakhir, ketiga anak tersebut masih belum naik kelas.
Tinggal Kelas Kali Ketiga (2020-2021) : Nilai Agama rendah
Kali ini, meski telah diberikan pelajaran agama (karena permohonan orang tua), ketiga anak diberikan nilai agama yang rendah sehingga tidak naik kelas.
Ketiga anak dipaksa menyanyikan lagu rohani, meskipun sang guru tahu bahwa itu tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan agamanya.
“Karena tidak dapat melakukannya, ketiga anak diberi nilai rendah dan tidak naik kelas lagi,” ujar Retno.
Sejak awal tahun ajaran, ketiga anak masih tidak diberikan pelajaran Agama.
Pada 17 Maret 2021, surat permohonan orang tua agar diberikan pelajaran Agama Kristen oleh sekolah. Kemudian, pada 25 Maret 2021, ketiga anak diijinkan ikut pelajaran Agama, yang diajar oleh Ibu Deborah.
Pada 6 Mei 2021, permohonan orang tua untuk ujian susulan tengah semester 1 dan akhir semester 1.
Hal ini dimohonkan karena anak-anak baru diberikan pelajaran Agama setelah semester 1 berlalu, sehingga perlu ujian susulan agar tidak ada alasan tidak naik kelas.
Lalu, 21 Juni 2021, setelah berbagai komunikasi, akhirnya ketiga anak diberikan ujian susulan.
Selanjutnya pada 24 Juni 2021, ujian praktek pelajaran Agama, anak-anak diminta menyanyikan lagu rohani.
Karena tidak sesuai dengan akidah agamanya, ketiga anak menawarkan lagu rohani lain, sesuai dengan Alkitab, namun ditolak. Komunikasi mengenai hal ini terus berlanjut melalui WA, hingga akhirnya mereka semua tidak naik kelas lagi.
Akhirnya pada 31 Juli 2021, rapot ketiga anak terbit. Mereka mendapatkan rapor, setelah berminggu-minggu tahun ajaran baru mulai dan ketiga anak tidak diperbolehkan masuk kelas. Ketiga anak kembali tidak naik kelas.
Kegiatan belajar mengajar dari ketiga anak tersebut, tugas yang mereka kerjakan, kelas yang mereka hadiri, semuanya sia-sia hanya karena mereka mempertahankan dan menjaga keyakinan agamanya mengenai lagu rohani.
“Di sisi lain, sekolah mengabaikan semua hal itu serta bahkan tidak mempertimbangkan sama sekali keyakinan Agama dan ibadah dari ketiga anak tersebut atas lagu rohani,” kata Retno.
Rencana Tindak Lanjut
Retno menjelaskan dari kronologi itu, sekolah di duga kuat melakukan pelanggaran atas sejumlah peraturan perundangan. Karena :
(1) Menghalangi ketiga anak mendapatkan pendidikan Agama yang seagama. Padahal Undang-Undang menetapkan hal ini sebagai hak dasar dari peserta didik;
(2) Mempersulit ketiga anak untuk mendapatkan pendidikan dasar. Padahal Undang- undang menetapkan tanggung jawab negara untuk memberikan akses seluas-luasnya atas pendidikan, bukan mempersulitnya.