AgamaFeaturedNews

Hadits Palsu Tentang Surga Di Bawah Telapak Kaki Ibu

425
×

Hadits Palsu Tentang Surga Di Bawah Telapak Kaki Ibu

Share this article

Timredaksi.com – Menghormati orang tua bagi seorang muslim merupakan sebuah keharusan yang lazim dipraktekkan dalam masyarakat. Khususnya kepada seorang Ibu yang telah mendedikasikan dirinya mengandung, merawat dan membesarkan seorang anak sudah sewajarnya dihormati bahkan dipatuhi.

Bagi masyarakat Indonesia penghormatan kepada orang tua merupakan salah satu ukuran moralitas. Bahkan dalam beberapa cerita rakyat Nusantara tidak menghormati atau kedurhakaan kepada orang tua berakhir tragis.

Berkaitan dengan penghormatan kepada orang tua ini, terkhusus Ibu ada salah satu ungkapan yang biasa dikenal sebagai berikut:

الـجَنَّةُ تَـحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ

Artinya: “Surga ada di bawah telapak kaki para Ibu”

Sering sekali dalam bebagai forum pengajian dan kajian kita disajikan ungkapan ini dan disebutkan sebagai hadis. Benarkah ungkapan ini merupakan hadis? bagaimana kedudukannya?.

Hadits ini adalah hadits palsu sebagimana dikatakan oleh para ulama ahli hadits, diantaranya Imam Ibnu Thahir, Imam Munawi asy-Syafi’i, Imam Ibnu Adi, Imam Adz-Dzahabi dan Imam Ibnu Hajar al-Asqolani.

Menurut Ibnu ‘Adi dalam kitabnya Al-Kamil fi Ad-Dhuafa’ Ar-Rijal menyatakan jika hadis tersebut kedudukannya lemah kerena terdapat perawi Musa bin Muhammad Al-Maqdisi  bin Atha’ yang dikenal sebagai pendusta. Kesaksian terhadap kedustaan Musa bin Muhammad Al-Maqdisi bin Atha’ diungkapakan oleh Imama Abu Zur’ah dan Imam Abu Hatim.

Baca Juga  PBNU: Tak Ada Kesengajaan Singkirkan PA 212 dari MUI

Sementara menurut imam Ibnu Hibban, Musa bin Muhammad Al-Maqdisi bin Atha’ dikenal sebagai seseorang yang dikenal sering memalsukan hadis.

Hadis diatas juga diriwayatkan dalam kitab Al-Fawaid oleh imam Abu Asy-Syaikh, kitab ‘Ar-Ruba’iyyat oleh imam Abu Bakar Asy-Syafi’I di kitab Musnad Asy-Syihab oleh imam Al-Qudha’i. Selain itu juga dalam kitab Al-Jami’ Li Akhlaq Ar-Rawi oleh imam Al-Khathib meriwayatkannya di dalam kitab. Selain itu juga  imam Suyuthi di dalam kitab Al-Jami’ As-Shaghir.

Semuanya berpusat di yaitu Abu An Nadhr yang diriwayatkan kepada Manshur bin Al Muhajir, keduanya tidak dikenal menurut Ibnu Thahir yang dinyatakan oleh imam Al-Minawi di dalam kitab Faidh Al-Qadir bi Syarh Al-Jami’ As-Shaghir. Sehingga dengan demikian tidak dapat dinilai kualitas mereka dalam periwayatan hadis.

Berdasarkan penelusuran di atas maka dapat dikatakan kedudukan hadis ‘Surga Ditelapak Kaki Ibu’ adalah dhaif.

Apakah kemudain artinya menhormati orang tua tidak wajib? Tunggu dulu, sebab ada hadis lain yang memiliki kedudukan Shahih tentang wajibnya menghormati orang tua. Itu artinya hadis ‘Surga Ditelapak Kaki Ibu’ dapat dikatakan shahih secara maknawi karena senada dengan makna dalam hadis berikut:

Baca Juga  Pengamalan Pancasila: Masih Sebatas Verbal?

أنه جاء النبي صلى الله عليه وآله وسلم فقال: يا رسول الله، أردت أن أغزو، وجئت أستشيرك فقال: «هل لك من أم؟» قال: نعم قال: «فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Artinya: “Bahwasannya ia (Mu’awiyah bin Jahimah) datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin berperang, dan aku datang untuk meminta petunjukmu.” Nabi saw. bersabda, “Apakah engkau memiliki Ibu?”, “Iya” “Menetaplah dengannya, karena sungguh surga di bawah kedua kakinya.”

Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dan al-Mundziri. Juga dikuatkan oleh Imam al-Haitsami dan dihukumi sebagai hadits hasan oleh Syaikh al-Albani.

Maka hadits shahih inilah yang harusnya kita jadikan sandaran dalam beramal dan yang kita sebarkan di masyarakat. Adapun hadits yang palsu di atas maka tidak boleh kita jadikan sebagai sandaran agar kita tidak termasuk orang yang menyiapkan sendiri tempatnya dineraka.

Sumber:

  • Kitab Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (2/59, no. 593)
  • Syaikhul Islam dalam Ahâ-dîtsul Qashshâsh” (hlm. 113) dan Imam al-Muanawi dalam Faidhul Qadîr (3/361)
  • Imam adz-Dzahabi dalam kitab Mîzânul I’tidâl (4/219)
  • Faidhul Qadîr (3/361) dan Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (2/59).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *