Demokrasi di Era Jokowi, Rakyat Kehilangan Cinta Sejati Pemimpin
Oleh: Ketum DPN BMI Farkhan Evendi
Harmonitas hubungan rakyat dan pemimpin dalam sebuah negara ibarat suami istri. Suami menuntun istri bagaikan imam menuntun makmum, mencium kening ketika tidur, memberi teguran pelan tanpa memukul jika berbuat salah dan seterusnya.
Seperti itulah seharusnya Demokrasi, memiliki pemimpin yang berjiwa pemurah, tegas, dia rela menderita demi rakyat bahkan mundur sekalipun daripada rakyatnya terus menderita, marah dan pelan-pelan mati.
Demokrasi seperti itu indah dan menyenangkan, membuat Indonesia menjadi sepenggal taman Firdaus, tempat rakyat melepas diri dalam ketenangan karena pemimpin menjadi bumper atau rela berkorban didepan melawan segala bahaya, baik ancaman luar negeri maupun perang melawan stadium konflik di dalam negeri yang tak bisa kita pungkiri dan sudah mengkhawatirkan ini.
Sendi-sendi demokrasi seharusnya menjadi karomah bagi ‘asiknya rame-rame’ rakyat dalam menjaga, mengawal pemimpin, saling mengasihi, saling menjaga kepak sayap kebhinekaan secara hakiki.
Namun, Demokrasi di era Jokowi seperti sebentuk wanita yang sakit lalu sang suami bukan saja tak peduli tapi juga menambah derita bagi wanita tersebut dengan tak mengurusnya, membiarkan ia tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan atau mirip sinetron istri di siksa suami dan seterusnya.
Seperti itulah yang terjadi, demokrasi sudah seperti barang usang di negeri ini, hanya tersisa sedikit celah demokrasi, itupun hanya sebagai hiasan bahwa kita masih menganut demokrasi, ya masih menganutnya, namun dalam kipas dari oligharki, namun istana pemimpin menjadi semakin jauh dari rakyat.
Segenap kekuatan yang dirasa menentang akan dirusak, mulai partai politik, ormas, media, organisasi mahasiswa yang dibajak,baik dengan melakukan lobi dan kompensasi yang enak maupun kompensasi dikriminalisasi ke pengadilan atau juga berujung di penjara.
Panorama kecurangan dinilai sebagai sesuatu yang wajar dalam kancah demokrasi saat ini. Upaya pencarian keadilan politik tak sedikit yang harus terjerembab karena barisan kekuasaan begitu allout dalam menggunakan seluruh kekuatanya untuk mempertahankan kepentingan pragmatisnya.
Begitu pula dalam kaitan penegakan hukum untuk urusan politik jadi loyo, tunduk pada kekuasaan, atau lebih ekstrimnya hukum hanya untuk kekuasaan dan akhirnya negeri ini berstatus sebagai negara kekuasaan, bukan negara hukum lagi.
Kondisi ini secara langsung atau tidak langsung menjadi faktor disintegritas politik antara pemilik kekuasaan versus sebagian anak bangsa yang tetap mendambakan penegakan hukum. Karena itu, setidaknya ketidakharmonisan hubungan negara dan rakyat menjadi pemandangan yang sulit dihindarkan.
Kini, kehidupan di negeri ini membuat demokrasi Indonesia memasuki fase menyuntik lemas semua yang mau melawan pemerintah, lalu apakah kita tinggal diam?. Tentu tidak, kita melihat Ichasnul Nursy, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Gus Najih Maemon Zubeir dan lain-lain menjaga marwah demokrasi di negeri ini.
Demokrasi tak seharusnya membuat kita jadi pilu, cara menegakkan kembali tenda demokrasi tentu melalui dua jalur secara bersamaan, mendidik rakyat dan terus bersuara dalam proses politik.
Sebagai umat manusia yang sadar berbangsa dan bernegara, maka tak ada opsi lain kecuali harus terpanggil bagaimana menghadirkan kembali spirit dan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh para foundingfather dalam memperjuangkan bangsa Indonesia hingga menjadi merdeka.