Oleh: Nanang Gojali (Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Cianjur)
Hari Rabu kemarin, tanggal 05 Juli 2023, bertempat di Aula bawah Kantor MUI Cianjur, komisi Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga yang dikomandani ibu Hj. Rina Mardiah, SH, MH mengadakan seminar mengangkat tema LGBT Perspektif Hukum. Yang menjadi pembicara tunggal dalam seminar itu ketua komisi pengkajian dan penelitian.
Dalam dunia kedurhakaan manusia, LGBT itu bisa dibilang sebagai bentuk kedurhakaan yang sudah menyejarah. Sudah berumur ribuan tahun. Cikal bakalnya adalah kaum Sodom zaman Nabi Luth As (kira² 2000 tahun SM).
Berkali-kali dalam Alquran dikisahkan tentang kaum tersebut sebagai penyuka sesama jenis, terutama kaum prianya. Walaupun yang selalu disebut kaum pria, namun tentu saja bukan berarti kaum perempuannya tidak ada penyuka sesama jenis. Ada tetapi saat itu tidak sebanyak kaum pria. Dan sebagaimana penyebutan kata ganti komunitas gender dalam Alquran, Allah selalu menyebut laki-laki sebagai makna mughalabah.
Berkali-kali nabi Luth memperingatkan mereka agar berhenti melakukan perbuatan yang sangat menjijikkan itu, tetapi alih-alih takut dan menurut malah justru mereka menantang nabi Luth agar Tuhan segera mendatangkan azab.
Tidak berapa lama, Allah pun menjawab tantangan dengan menurunkan azab kepada mereka berupa hujan batu yang diikuti dengan gempa dahsyat yang meluluhlantakkan.
Sejarah LGBT di Indonesia dimulai pada tahun 60-an, berkembang pada tahun 80-90-an, dan meledak pada tahun 2000-an. Di Cianjur saja yang terkenal dengan tatar santri, hingga akhir tahun 2022 jumlah LGBT terkonfirmasi sebanyak 3.500-an.
Entah sudah bertambah berapa ratus sampai pertengahan tahun ini. Di tatar santri saja sudah demikian parahnya. Dan jika bukan tatar santri, mungkin jumlah anggota komunitas generasi kaum sodom itu sudah mencapai ribuan. Na’udzu billah.
Dalam acara seminar kemarin, ada peserta yang bercerita bahwa ada seorang warga negara asing yang menyatakan untung mayoritas penduduk Indonesia muslim, kalau tidak, maka LGBT sudah dilegalkan seperti halnya di negara-negara Barat.
Penilain warganegara asing tersebut seolah ingin menegaskan bahwa populasi mayoritas muslim bisa menjadi benteng untuk paling tidak tidak sampai dilegalkannya LGBT di negara kita. Tetapi apakah betul demikian?
Peserta seminar lain yang semuanya kaum perempuan, berpendapat bahwa salah satu kendala yang dihadapi para pejuang penolak LGBT termasuk PPRK adalah belum adanya regulasi dan perundangan yang menjadi dasar hukum pelarangan LGBT.
Meskipun secara moral Pancasila, perilaku LGBT itu menyimpang, namun faktanya Pancasila yang diakui sebagai sumber dari segala hukum dan perundangan di negara kita belum bisa menurunkan aturan hukum yang mengikat tentang pelarangan LGBT.
Ketentuan hukum yang ada pada KUHP pasal 294 baru menetapkan pidana pencabulan. Itupun jika dilakukan oleh salah satu pasangannya yang masih dibawah umur 18 tahun. Jika keduannya sama-sama sudah dewasa, tidak bisa dikenakan pidana.
Disinilah problemnya, katanya. Kita, para pejuang moral pemberantas LGBT tidak berbekal regulasi kuat dalam perjuangan ini. Padahal ini merupakan perjuangan yang sangat berat, identik perjuangan melawan pasukan setan yang berlindung dibawah naungan panji HAM.
Kenapa sejauh ini LGBT masih terus menjadi polemik antara yang pro dan yang kontra? Ya, itu tadi, karena pemerintah belum benar-benar hadir untuk menyelesaikan masalah moral bangsa ini dengan menerbitkan undang-undang.
Para pejuang pembersntas LGBT juga selalu berhadapan secara head to head dengan para pejuang penegaknya yang semakin hari semakin berani muncul ke publik dengan agenda dan misi ingin mendapat pengakuan dari pemerintah.
Para pejuang pemberantas LGBT hanya berbekal idealisme penegakan moral, sedangkan mereka para pejuang penegaknya berbekal HAM dari PBB dimana di banyak negara Eropa dan Amerika sudah dilegalkan.
Dan disinilah titik dilematisnya bagi umat Islam dan para pejuang pemberantas kemunkaran makhluk yang bernama LGBT ini.