Polhukam

Populisme Jokowi dan Kemunduran Demokrasi

648
×

Populisme Jokowi dan Kemunduran Demokrasi

Share this article

Oleh : Dinda Rembulan (Mahasiswa Magister Ilmu Politik UI)

Populisme di Indonesia tidak menunjukkan perbedaan drastis antara aktor politik yang mendominasi dengan narasi antagonis dengan aktor-aktor yang lain sebagaimana yang terjadi di banyak negara. Hal ini diakibatkan pemimpin karismatik merupakan gambaran yang menguntungkan untuk dimiliki aktor politik, dimana mereka memiliki kekuasaan untuk melakukan perubahan.

Populisme di Indonesia memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Amerika Latin, ditandai dengan munculnya sosok pemimpin yang karismatik dan mampu menggiring opini publik serta menjadikannya “rakyat yang sesungguhnya”. Imanuela (2021) mendalilkan bahwa populisme di Indonesia juga kerap kali membawa permasalahan mendasar, seperti kualitas ekonomi yang buruk, pelayanan publik yang tidak maksimal, dan adanya problem-problem yang memerlukan perubahan secara cepat. Populisme di Indonesia tidak terikat dengan ideologi dan spektrum politik tertentu.

Namun sesungguhnya populisme di Indonesia bukan hal baru, telah populer sejak masa kepemimpinan presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia sebagaimana dikatakan Fossati & Mietzner (2019). Gaya yang digunakan Soekarno saat berorasi di hadapan rakyat Indonesia membawa narasi populisme dasar dengan menyinggung penderitaan rakyat akibat adanya imperialisme dan kolonialisme.
Stratergi Populisme Jokowi

Ruth Pollard dalam New Culture Wars Worsen Political Slide in Indonesia secara tegas menyebut Jokowi sebagai salah satu pemimpin dunia populis yang bombastis. Sejak kemenangannya di Pilpres 2014, Jokowi memang dikenal sebagai salah satu dari pemimpin populis. Marcus Mietzner dalam Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia, menyebut Pilpres 2014 merupakan pertarungan antara kandidat populis. Jokowi membawa bentuk baru populisme teknokratis yang inklusif, non-konfrontatif, serta berfokus pada peningkatan kualitas pemberian pelayanan publik. Masih menurut Mietzner, kemenangan Jokowi menunjukkan bentuk populisme baru yang sekarang lebih diterima. Sedangkan menurut Burhanuddin Muhtadi dengan mengutip Margaret Canovan, membagi populisme dalam tiga bentuk, secara meyakinkan Jokowi dapat disebut tengah menggunakan bentuk populisme “wong cilik” (www.pinterpolitik.com, 2018).

Di era Jokowi, populisme lebih bersandar pada figur Jokowi itu sendiri. Populisme politik itu dibangun karena kemuakan rakyat akan negara dan parpol yang diangap korup dan oligarkis. Kemuakan tersebut lalu ditransformasikan menjadi partisipasi elektoral mendukung Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019 lalu karena dipandang jujur, sederhana, dan bukan mewakili oligarki elit politik. Jokowi dianggap sebagai representasi masyarakat, seperti dalam slogan kampanye “Jokowi adalah kita”. Kemunculan sosok Jokowi dalam membangun relasi dukungan personal oleh gerakan relawan yang tidak diikat dalam sebuah organisasi partai politik merupakan ciri dari sebuah gerakan populisme. Populisme politik Jokowi sudah dimulai dari proses pencalonan sebagai presiden, kampanye, pencoblosan hingga pelantikan, dimana telah terjadi persekutuan lintas kelas untuk membawa perubahan, mereorganisasi negara yang korup warisan Orde Baru.

Baca Juga  Samosir Gempar, Kepala Raja Dipenggal Anaknya saat Makan Malam, Istri Korban Sekarat Ikut Dianiaya

Joko Widodo menggunakan strategi populisme yang bersifat pragmatis namun dilakukan dengan cara yang lebih halus. Contoh dari tindakan Jokowi pada saat itu ialah menjangkau masyarakat dengan kunjungannya yang disebut “blusukan”, dimana Jokowi mendengarkan berbagai keluhan rakyat dan menawarkan solusi secara langsung dengan memanfaatkan teknologi serta sikap yang anti-konfrontasi. Banyak kebijakan populis Jokowi selama menjabat sebagai presiden diantaranya pembubaran Ormas HTI dan FPI, BLT BBM, infrastruktur, pembangunan Ibu Kota Baru dan Pembelian tambang emas Freeport di Papua. Populisme Jokowi cenderung polite populism. Istilah untuk membedakannya dari jenis populisme yang cenderung meledak-ledak dan punya “arogansi”. Profesor Marcus Mietzner dari Australian National University dalam Reinventing Asian Populism, populisme Jokowi tidak menggunakan retorika “ajak kelahi” Jokowi cenderung soft spoken dan tidak menawarkan konsep neo-otoritarian sebagai solusi terhadap status quo yang ada. Mietzner menyebut kekuatan populisme Jokowi terletak dari tawaran sikap politiknya yang rendah hati, sopan, mengedepankan etika kerja keras, spontan, serta kontra-naratif dengan arogansi–tanpa mengkonfrontasi hal tersebut (www.pinterpolitik.com, 2018).

Populisme yang teknokratik ini juga sangat pragmatis dalam pendekatan-pendekatan penyelesaian masalahnya. Jokowi memang terkenal sebagai sosok yang sangat pragmatis, apalagi jika berkaca dari perjalanan hidupnya. Mietzner menyebut ketimbang politis-ideologis, Jokowi lebih terlihat sebagai sosok yang pragmatis dan instingtif. Pendekatan politik yang soft spoken memang membuat Jokowi mampu merangkul semua elite. Namun, pragmatisme politik ini membuat Jokowi pada akhirnya lebih banyak berkutat pada rutinitas pemerintahan dan mulai mengesampingkan program-program reformis. Banyak yang mempertanyakan program Revolusi Mental, Nawacita atau program lain sejenis yang nyatanya tidak banyak terlihat hasilnya. Artinya, program-program kampanye di 2014 dan 2019 tersebut terlihat lebih menjadi “janji” pragmatis yang diutarakan untuk mendulang suara masyarakat saja. Pragmatis, tetapi efektif. Tipikal politisi yang teknokratis.

Baca Juga  Cabuli 30 Siswa, Seorang Guru di Cianjur Diringkus Polisi

Populisme dan Kemunduran Demokrasi

Populisme dan demokrasi memiliki hubungan yang kontradiktif serta menjadi banyak perdebatan diantara para peneliti ilmu sosial. Mengingat istilah serta parameter kedua ide ini masih belum pernah jelas dalam penemuannya seperti yang diamin oleh Kaltwasser (2011). Selain itu, dilema juga terjadi mengingat populisme menyebabkan sebuah kontestasi yang tinggi dalam panggung politik suatu negara (Moffit & Tormey, 2013). Dalam keadaan tertentu kontestasi tersebut dapat menjelma menjadi prasangka antar kelompok yang berpotensi menyebabkan konflik. Bahkan Hilmy (2020).Demokratisasi telah mengalami kemunduran yang disebabkan oleh maraknya praktik korupsi, rendahnya penegakan hukum, dan kemunculan populisme sebagai trend.

Populisme secara agresif dapat memecah-belah masyarakat serta mempertajam perbedaan akibat pengelompokan identitas yang disertai dengan sikap nativisme, menganggap kelompok atau identitas sendiri berada lebih superior dibandingkan dengan kelompok yang lain, serta sentimen atau narasi kebencian yang berusaha dibangun oleh figur populis untuk memperoleh dukungan. Populisme, dapat menyebabkan polarisasi sosial di masyarakat karena dibangun atas narasi kebencian oleh kelompok satu terhadap kelompok yang berkuasa sehingga populisme kerap kali mendapat dukungan. Kemunculan populisme merupakan akibat dari kemunduran atau menurunnya kualitas demokrasi di suatu negara yang tidak lagi mengedepankan nilai-nilai order dalam masyarakat, namun hanya menekankan bahwa esensi demokrasi adalah kebebasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *