Jakarta_timredaksi.com–Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana memberikan penjelasan mengenai Mengasah Kearifan Lokal Dalam Penegakan Hukum Dalam Rangka Membangun Kampung Restorative Justice.
Menurut Fadli (sapaan akrab_red) tujujuan hukum mendefinisikan sebagai peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
“Hukum tidak hanya berarti peraturan resmi yang dibuat oleh pemerintah (negara) tetapi juga termasuk adat istiadat yang berlaku dimasyarakat yang harus diakui keberadaannya oleh negara,” kata Fadli pada siaran pers Rabu, 2/2/2022.
Lanjut dirinya menyampaikan bahwa UU Dasar RI tahun 1945, telah mendeklarasikan Indonesia sebagai Negara Hukum (Rechstaat), yang memiliki makna bahwa seluruh tata kehidupan bernegara di Indonesia tunduk kepada aturan hukum, baik aturan hukum tertulis hukum adat serta nilai-nilai budaya masyarakat itu.
“UUD 1945 juga secara tegas mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan prinsip negara kesatuan yang diatur dalam undang-undang.
Sebagai Negara Hukum, Aristoteles menyatakan bahwa negara haruslah berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya, karena keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya,” paparnya
Masih ditempat yang sama Gustav Radbruch menyatakan bahwa hukum haruslah memiliki tiga nilai yang merupakan tujuan dari hukum, yaitu kepastian hukum (rechtmatigheid), keadilan hukum (gerechtigheid) dan kemanfaatan hukum (doelmatigheid).
“Ketiga nilai tersebut harus dapat diwujudkan dalam proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, khususnya Jaksa selaku penegak hukum pemerintah, yang memiliki posisi sentral dalam sistem peradilan pidana dan selaku dominus litis,” kata Gustav
Hukum adat dan kearifan lokal jati diri bangsa indonesia pada pasal 18B UUD 1945 kata Gustav, secara tegas mengakui keberadaan hukum adat sebagai salah satu sumber hukum tidak tertulis yang berlaku di Indonesia. Ia juga menyampaikan beberapa bukti dari pengakuan keberadaan hukum adat tersebut, Pemerintah telah menetapkan UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.
‘Tentu kita mengakui keberadaan sanksi pidana adat untuk dijadikan pidana pokok oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP,” ungkapnya.
Diketahui Van Vollenhoven telah mengelompokkan hukum adat Indonesia kedalam 19 Lingkungan Hukum Adat yang terdiri dari Lingkungan Hukum Adat : Aceh; Tanah Gayo, Alas dan Batak; Daerah Minangkabau dan Mentawai; Sumatera Selatan; Daerah Melayu; Bangka dan Belitung; Kalimantan; Minahasa / Manado; Gorontalo; Tana Toraja; Sulawesi Selatan; Kepulauan Ternate; Maluku – Ambon; Papua; Kepulauan Timor; Bali dan Lombok; Bagian Tengah Jawa, Jawa Timur dan Madura; Solo-Yogyakarta; dan Lingkungan Hukum Adat Jawa Barat (Parahyangan, Tanah Sunda, Jakarta serta Banten).
Diinformasikan keseluruhan lingkungan hukum adat tersebut memiliki karakteristik sendiri yang mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat lokal yang sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hukum adat diterima oleh masyarakat sebagai norma yang dipatuhi, sehingga setiap terjadi sengketa perselisihan dalam bentuk apapun (baik pidana atau perdata), tindakan penyelesaian yang diambil oleh tokoh adat selalu diterima oleh masyarakat tanpa ada keberatan dari pihak manapun.
Efektifitas Hukum Adat :
Hukum adat pada hakekatnya merupakan bukti dari adanya kearifan lokal bangsa Indonesia, memiliki nilai-nilai yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, dan terkadang jauh lebih efektif dalam menyelesaikan setiap terjadinya perselisihan dikalangan masyarakat Indonesia dibandingkan dengan hukum formil baik hukum pidana maupun perdata yang berlaku selama ini, karena hukum adat memiliki sifat-sifat antara lain:
Hukum adat memiliki sifat kosmis yang menyatukan masyarakat, baik dengan sesama anggota masyarakat, maupun antara masyarakat dengan alam semesta.
Hukum adat sangat terbuka untuk setiap peristiwa yang terjadi, sehingga dapat mengadili semua sengketa yang terjadi dalam masyarakat tanpa dibatasi oleh aturan yang bersifat formil dan tertulis.
Sanksi hukum adat dijatuhkan tidak hanya terhadap pelaku tetapi dapat juga dijatuhkan kepada kerabat atau keluarganya, bahkan dapat juga dijatuhkan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat adanya peristiwa atau sengketa dalam masyarakat.
Putusan tokoh adat terhadap setiap sengketa yang terjadi dalam masyarakat selalu dianggap sebagai putusan yang benar dan terbaik, sehingga dipatuhi oleh semua pihak, baik para pihak yang bersengketa, keluarga para pihak maupun masyarakat sekitar.
Putusan atas sengketa/perselisihan dalam masyarakat yang diselesaikan berdasarkan hukum adat, baik sengketa/perselisihan yang bersifat pidana atau perdata, hampir selalu diterima oleh pelaku, korban dan/atau pihak yang bersengketa tanpa ada keberatan, karena putusan tersebut selalu diambil oleh para tokoh adat dengan melibatkan para pihak yang bersengketa, keluarga serta masyarakat sekitar terjadinya perselisihan, sehingga mencerminkan rasa keadilan yang bersifat universal, karena tidak hanya diterima oleh masyarakat, tetapi juga dianggap diterima oleh alam.
Dalam perkembangan penegakan hukum saat ini, proses penegakan hukum yang bertujuan untuk memberikan keadilan retributive atau distributive saat ini telah bergeser menjadi pemulihan kepada keadaan semula / keadilan restoratif (restorative justice).
Prinsip keadilan restoratif tersebut pada hakekatnya sangat sejalan dengan penegakkan hukum adat yang bertujuan mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat adanya sengketa atau kejahatan dimasyarakat.
Dalam proses penegakkan hukum pidana, seringkali putusan yang dijatuhkan hakim mendapat perlawanan dalam bentuk pengajuan banding oleh terdakwa ataupun oleh Jaksa yang merasa bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan.
Hal berbeda terjadi dalam proses peradilan adat, hampir semua putusan peradilan adat diterima tanpa adanya keberatan dari para pihak, karena putusan tersebut pada hakekatnya diambil bersama-sama antara pelaku dan korban dengan disaksikan dan melibatkan tokoh adat serta masyarakat setempat, sehingga putusan tersebut sangat mencerminkan keadilan, baik rasa keadilan pelaku, korban maupun masyarakat.