Jakarta – Kementerian Agama (Kemenag) dalam waktu dekat akan menyelenggarakan program penceramah bersertifikat meski mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak. Rencananya program ini dimulai pekat ketiga September 2020. Kuota gelombang pertama sebanyak 50 orang.
Ketua Umum Masyarakat Pesantren KH Hafidz Taftazani, yang beberapa waktu lalu pernah mengusulkan tentang sertifikasi bagi para penceramah, dai, maupun mubaligh sangat mendukung Kemenag untuk melakukan program tersebut.
Menurut KH Hafidz, alasan dirinya memberikan usulan soal sertifikasi bagi para penceramah, dai maupun mubaligh adalah bahwa, sertifikasi merupakan hal yang lazim bagi dunia keilmuan dimana saja di seluruh dunia.
“Sertifikat di dunia keilmuan, intelektual, pendidikan, itu adalah hal-hal yang biasa, tapi setelah berbunyi sertifikasi bagi para penceramah seperti ada satu pengertian yang ekstrime sehingga belum sampai kepada pelaksanaanya sudah banyak yang menolak,” ujar KH Hafidz, Senin (7/9/2020).
Padahal, lanjunya, selama ini Robitoh Alam Al Islami, di Arab Saudi, setiap tahun mengundang mubaligh-mubaligh dari beberapa negara untuk disertifikasi, mereka selama 6 bulan berada di Arab untuk disertifikasi.
“Universitas Al Azhar dan lainnya juga mengundang mubaligh-mubaligh dari Indonesia. Selama 6 bulan maupun 3 bulan disana , diadakan sertifikasi. Artinya latihan dakwah disana selama 3 bulan langsung diberikan sertifikat,” ujar Pria Lulusan Universitas Ummul Quro, Arab Saudi.
Lebih dari itu, lanjutnya, seseorang yang menempuh pendidikan, mulai dari sekolah hingga kuliah dakwah juga setelah selesai diberikan sertifikat.
“Usulan kita dulu bahwa sertifikasi ini diadakan oleh Kementerian Agama bersama MUI, NU dan Muhammadiyah untuk menginisiasi materi-materi dari penyelenggaraan sertifikasi tersebut. Jadi tidak ada satu kelompok pun yang dianggap akan dinistakan atau diawasi oleh sertifikasi tersebut. Karena isinya adalah materi-materi yang di dalamnya adalah seorang mubaligh harus fasih dalam membaca Al-Quran. Karena ada seorang dai menyebutkan Allah pun tidak fasih,” ucapnya.
Selain itu, menurut KH. Hafidz, seorang penceramah atau mubaligh juga harus menguasai ayat-ayat dakwah dan ayat-ayat akidah.
“Jangan yang dihafalkan ayat-ayat jihad saja. Ayat-ayat jihad itu kan hanya dikeluarkan memang disuruh pada saat kita berjihad,”tegasnya.
Seorang mubaligh dalam berdakwah jangan hanya menyampaikan terjemahnya saja tapi juga menyebutkan Al-Quran ataupun Hadits secara orisinil karena berceramah berbeda dengan berdakwah.
“Kemudian materi-materi lain adalah materi-materi yang disesuaikan dengan tingkat kenegaraan. Hal-hal yang sudah disepakati dalam bernegara jangan sampai dimentahkan atau pertentangkan dalam sebuah ceramah sehingga menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat,”jelasnya.
Sertifikasi bagi para penceramah, dai dan mubaligh juga mengandung materi-materi yang dingin, materi-materi yang tidak provokasi yang dialamatkan kepada negara maupun pribadi, yang tentunya akan bertentangan dengan kaidah dakwah itu sendiri.
“Kemenag boleh saja mengeluarkan sertifikat, tapi materinya harus disepakati oleh organisasi-organisasi besar. Baik MUI, Nu ataupun lembaga-lembaga lain untuk membicarakan materinya,” ucap KH Hafidz.
Adapun tutor harus dibagikan kepada orang-orang Kementerian Agama sendiri atau diberikan kesempatan bagi MUI dan organisasi-organisasi besar lainnya, sehingga tidak ada monopoli yang dianggap sebagai pemaksaan.
“Sertifikasi ini adalah satu yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim, bukan hanya ditingkat atas tapi juga sampai ke akar rumput, sehingga sertifikasi diadakan di tingkat pusat sampai tingkat kabupaten. Maka materi mutlak harus disepakati oleh organisasi-organisasi Islam,”kata KH. Hafidz mengakhiri.