Featured

GEREJA BENTENG TERAKHIR BAGI RAKYAT & BANGSA PAPUA BARAT

58
×

GEREJA BENTENG TERAKHIR BAGI RAKYAT & BANGSA PAPUA BARAT

Share this article

GEREJA BENTENG TERAKHIR BAGI RAKYAT & BANGSA PAPUA BARAT

Oleh: Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Gereja-gereja di Tanah Papua Barat dari Sorong-Merauke, para pendeta, gembala dan majelis dan seluruh umat Tuhan, mari, kita semua demo tentang kejahatan kemanusiaan, ketidakadilan, dan kekerasan negara seperti pengungsi Nduga 60.000 orang, operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Yahukimo.

Mari, kita demo mendesak Pemerintah Indonesia untuk penyelesaian akar konflik Papua Barat yang sudah menjadi seperti “luka membusuk dan bernanah” didalam tubuh bangsa Indonesia.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah berperan seperti seorang dokter yang membawa pisau bedah dan sudah mendiagnosa dan menemukan akar luka membusuk dan bernanah bahwa empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua sebagaimana tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:

1. Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; dan
4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah konkrit, strategis, konstruktif, dialogis untuk mengakomodasi penyelesaian akar konflik Papua Barat yang kronis dengan melibat pihak ketiga yang netral di tempat yang netral. Contohnya, pemerintah sudah menjadikan GAM sebagai mitra dialog di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pendekatan ini masih relevan untuk penyelesaian konflik di Papua Barat karena persoalan ini sudah berdimensi Internasional.

Mari, kita semua merunghkan pernyataan dan legacy iman dari Ketua Sinode GKI yang pertama alm. Pdt. F.J. S. Rumainum yang disampaikan kepada mitra kerja misionaris asing pendeta Dr. Sigfried Zoelner yang ditugaskan di Pos Penginjilan Anggruk. Pesan iman dan moral dari bapak saksi kudus dan orang-orang beriman ini dapat diabadikan dalam buku Bersatu Dalam Tuhan-GKI-TP 60 Tahun 1956-2016, hal. 79).

“Kita sebagai gereja harus berada di samping orang-orang tersingkir, kalau tidak, pekerjaan kita sia-sia!” (Pdt. F.J.S. Rumainium).

Apa yang diwariskan Pdt. F.J.S. Rumainum adalah warisan rohani sesuai pesan Tuhan Tuhan Yesus Kristus “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-19).

Karena, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10).

Firman Tuhan dan pernyataan iman alm.Pdt. F.J.S. Rumainium) ini dalam dua konteks. Konteks rohani berarti Iblis datang untuk mencuri, membunuh dan membinasakan orang-orang yang beriman dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.

Lalu konteks dalam realitas yang dialami rakyat Papua, dapat ditafsirkan bahwa penguasa kolonial Indonesia datang sebagai pencuri, pembunuh dan pembinasa rakyat Papua. Itu fakta yang sulit dibantah.

Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, gembalanya rakyat Timor Leste pernah berkata: “…dalam realita kalau sudah menyangkut martabat pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional” (1997:127).

Uskup Dom Helmer Camara (Brasil) menyatakan imannya “Gereja menjadi satu-satunya organisasi publik yang tidak dikendalikan langsung oleh kediktatoran. Harapan para tahanan politik didasarkan pada Gereja, satu-satunya institusi di Brasil yang tidak dikendalikan oleh negara militer.” (2000:16,19).

William Wilberforce (2023) pernah menegaskan “Hanya orang-orang yang benar-benar bertobat yang dapat dipercaya untuk memperjuangkan keadilan demi kedamaian permanen dan kesejahteraan umum…Biarlah saya senantiasa mengingat bahwa kewajiban saya selama di dunia bukanlah untuk berdoa saja, melainkan untuk bertindak untuk martabat manusia sebagai gambar Allah.”

Baca Juga  Alus UK Murib: Pemda Harus Fasilitasi Modal Usaha bagi Pengusaha OAP

Theo P.A. van den Broek OFM dan J.Budi Hernawan, OFM pernah menyatakan “…bukan hanya perlu, tetapi merupakan keharusan Gereja untuk terlibat dalam misi pembelaan dan perlindungan terhadap manusia agar hak-hak dasar masyarakat diakui, dihormati, dan diutamakan.” (2001:111).

Pdt. Dr. Benny Giay pernah mengungkapkan “Orang Papua tidak bisa menunggu di ruang tunggu bahwa kemajuan, perubahan dan keadilan itu datang dari Jakarta, Amerika, Australia, atau turun sendiri dari surga. Tapi kita harus bergerak menggunakan semua potensi dan lilin kecil yang ada pada kita masing-masing. Gereja merupakan satu-satunya organisasi, satu-satunya institusi, yang hidup bersama masyarakat. Masyarakat mengetahui hal itu; Gereja telah menjadi bagian dari kehidupan nyata. Gereja menjadi satu-satunya agen yang melaluinya orang-orang dapat mengetahui dunia. Saya pikir gereja ada untuk membantu hak-hak masyarakat!” (Farhadian, 2007:43).

Uskup Mrg.Leo Laba Ladjar, OFM menegaskan “Rakyat Papua sudah bertekad berjuang tanpa kekerasan tetapi melalui perundingan dan diplomasi, dengan cara damai dan demokratis. Sikap yang amat simpatik itu harap tidak dijawab pemerintah dengan bedil, bom, dan penjara. Tanggapan untuk suatu dialog yang demokratis, adil, jujur, pasti, sekaligus juga meredam usaha-usaha para privokator yang tidak henti-hentinya memancing kekerasan entah dari pemerintah/militer atau pihak-pihak rakyat Papua.” (Neles, 2009:16).

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno mengungkapan “…Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia….Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” “…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (2015: 255, 257).

Melihat situasi kemanusiaan yang buruk, tidak normal, tidak beradab dan memalukan serta luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia yang ditimbulkan oleh rasisme dan ketidakadilan, Dewan Gereja Papua (WPCC) meminta Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 4 akar persoalan konflik di tanah Papua.

Untuk itu Dewan Gereja Papua kembali menegaskan Surat Pastoral kami tertanggal 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019 sebagai berikut.

1. Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)

2. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di Aceh sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan Kapolri di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).

Adapun seruan-seruan Pimpinan Gereja dan Agama di Papua secara terus-menerus kepada Pemerintah Republik Indonesia berunding dengan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral.

3. Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 bahwa Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral.

Baca Juga  Profesor Universitas Newcastle: Wudhu Kurangi Kemungkinan Terinfeksi Virus Corona

4. Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan.

5. Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi ‘separatis, TPN, OPM, GPK, makar’ dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan.

6. Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia.

7. Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak.

Mari, para pemimpin Gereja demo penguasa Indonesia untuk menemukan jalan penyelesaian perdamaian permanen di Papua, yaitu Pemerintah Indonesia dalam kepemimpinan Prabowo Subianto menunjuk Special Envoy (Utusan Khusus) untuk mengadakan komunikasi dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk duduk setara dan berdialog, bernegosiasi, dan berunding secara damai dan bermartabat tanpa syarat dimediasi pihak ketiga yang netral.

Special Envoy adalah kebutuhan sangat mendesak. Pemerintah Indonesia harus menunjuk Special Envoy. Penunjukkan Special Envoy adalah orang yang kredibel, mempunyai integritas, independen, memahami akar konflik Papua Barat dan diterima oleh seluruh perjuang Papua Barat merdeka, ULMWP, TPNPB, KNPB, dan komunitas internasional.

Akhir kata Gereja tidak boleh dibawa ke jurang. Karena, Gereja didirikan oleh Tuhan Yesus Kristus dan milik Kristus.

“…Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Matius 16;18-19).

Hai Petrus, apakah engkau mengasihi Aku? Kalau engkau Petrus mengasihi Aku, tugasmu ialah “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-17).

Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *