Virus korona melanda hampir 2 tahun. Dampaknya tidak dapat dikatakan sedikit dan sempit. Ia merasuk dan merusak sektor-sektor penting dalam kehidupan manusia. Salah satu di antaranya adalah sektor kesehatan. Selain menyerang kesehatan fisik, virus korona juga berhasil menyerang kesehatan mental kita. Setiap hari diberitakan angka-angka kematian, yang jumlahnya berdigit-digit angka. Tetangga yang positif atau sekadar reaktif. Sanak-famili yang dirawat di rumah sakit dengan penyakit tambahan yang muncul bersamaan.
Fenomena-fenomena dan informasi yang kita konsumsi mengenai kesehatan fisik tersebut berdampak pada perilaku kita. Sikap pencegahan secara otomatis ter-instal dalam tubuh kita. Mulai dari beralih pada pola hidup yang lebih sehat, sampai hidup dengan protokol kesehatan yang ketat. Memakai masker, menjauhi kerumunan, berjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. Orang-orang jadi saling curiga satu sama lain karena takut tertular virus.
Selain perubahan aktivitas diri, perubahan aktivitas juga terjadi secara komunal. Semua pekerjaan, tanpa terkecuali, harus dilaksanakan dari rumah. Alhasil, daring menggunakan internet menjadi langkah yang disepakati untuk ditempuh. Termasuk aktivitas guru dalam belajar-mengajar.
Siswa dan guru tidak dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka selama waktu yang ditentukan pemerintah. Aktivitas belajar-mengajar dilaksanakan secara daring di rumah masing-masing. Tentu sifat pembelajarannya menjadi terbatas, tidak se-fleksibel ketika pembelajaran tatap muka. Dominasi berada di pihak guru, sedangkan siswa terkesan menjadi objek pembelajaran saja.
Dalam beberapa pertemuan belajar daring memang terasa ringan. Akan tetapi, lama-lama, pembelajaran menjadi beban sehingga baik guru maupun siswa menjadi sama-sama tertekan.
Guru tertekan karena bahan pembelajaran daring ternyata lebih merepotkan dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka. Guru harus menyiapkan modul, salindia (power-point), instrumen tugas daring, teknik penilaian, dll. Belum lagi masalah kuota internet yang pembagian subsidinya ternyata tidak merata. Masalah pembagian waktu dalam penyusunan bahan pembelajaran dan proses pembelajarannya pun menjadi masalah lain. Hal itu dikarenakan beberapa guru, terutama guru perempuan, harus berbagi waktu antara penyiapan bahan pembelajaran dan urusan rumah tangga.
Lain halnya dengan siswa. Mereka tertekan karena beberapa faktor. Mulai dari keterbatasan akses internet sampai dengan keberterimaan materi pembelajaran. Tidak semua siswa mampu memiliki gawai, atau memiliki gawai tetapi kesulitan membeli kuota internetnya. Kemudian, keberterimaan materi pembelajaran ditengarai karena metode pembelajaran guru mau tidak mau akan cenderung menggunakan teknik ceramah, satu arah. Siswa yang kurang mengerti materi lantas harus mengerjakan tugas. Di sini letak beban mereka. Lagipula dalam teori pembelajaran, gaya siswa dalam belajar itu beragam, ada yang visual, audiovisual, ada juga yang kinestetik. Bagi siswa yang bergaya kinestetik tentu akan merasa tidak cocok dengan teknik ceramah dalam pembelajaran.
Lambat-laun, aktivitas pembelajaran daring mulai menjemukan mempengaruhi kesehatan mental guru dan siswa. Hal itu tentu saja mempengaruhi kualitas pendidikan kita. Pembelajaran daring mungkin saja cocok untuk perguruan tinggi, tetapi tidak cocok untuk SD dan SMP yang masih perlu bimbingan guru secara nyata. Gangguan mental yang dimaksud ialah gangguan batiniah baik berkaitan dengan semangat belajar, kebermakaan, sukacita sekolah, kepuasan, maupun kebosanan terhadap pendidikan. Ini tentu saja suatu fenomena yang harus dipikirkan untuk dicari penangannya, yang tidak cukup dengan sekadar menunggu pembelajaran kembali menjadi tatap muka saja.
Kondisi mental yang buruk berpengaruh terhadap pengendalian emosi, stres, sulit berpikir dan bertindak, hingga kesulitan memutuskan sesuatu secara tepat. Ini tentu mengerikan. Betapa mental ternyata mempengaruhi tindakan. Seringkali, sesuatu yang tak terlihat lebih mempengaruhi yang terlihat, daripada sebaliknya. Maka dari itu, dalam masa pembelajaran daring ini, selain merawat kesehatan fisik, penting juga kita merawat kesehatan mental kita.
Misalnya saja, guru mengurangi orientasi tujuan belajar dari awalnya men-transfer ilmu menjadi menjaga ketertarikan siswa untuk belajar. Maka itu, fokus guru adalah menciptakan proses belajar-mengajar yang tidak teoretis, tetapi praktis. Misalnya cukup dengan meminta siswa untuk membaca apapun yang menarik bagi mereka, bisa komik, berita, artikel, puisi, cerpen, novel, atau bacaan lainnya. Kemudian siswa diminta membuat laporan tak-terstruktur untuk itu dan melaporkannya ketika pertemuan daring selanjutnya tiba. Menurut penelitian dari Universitu of Sussex tahun 2009 menyebutkan bahwa kegiatan membaca mampu mengurangi tingkat stres seseorang sampai 68%. Cara ini lebih efektif dibandinkan mendengar musik dan minum teh (tentu saja cara ini juga boleh dilakukan).
Bentuk pembelajaran lainnya adalah dengan membagi kelas ke dalam beberapa rumpun. Misalnya 5 orang per rumpun dengan pertimbangan persamaan passion, gaya, cara bersosial, dsb. Lalu, setiap rumpun dijadwalkan untuk pertemuan dari bersama guru. Di dalam ruang belajar daring, ciptakan kegiatan bercerita yang fokus kepada siswa sebagai pembicara. Siswa bebas berbicara apapun dengan bahasa yang telah diatur. Topiknya bisa diatur atau bebas. Boleh topik umum atau seputar mata pelajaran. Ini bertujuan untuk menimbulkan kepercayaan diri siswa bahwa dalam masa-masa sulit ini ia tidak sendiri.
Cara healing-self di atas hanyalah beberapa saja. Ada banyak cara dalam merawat kesehatan mental guru dan siswa agar tidak menjadikan belajar-mengajar sebagai beban. Jika kesehatan mental terjaga ketika pembelajaran daring, maka kualitas mental dalam proses pendidikan ketika kembali tatap muka mungkin tidak akan terlalu mengkhawatirkan. Akhirnya, marilah kita tutup tulisan ini dengan ungkapan klise tapi masih relevan dan reflektif: men sana in conpore sano!
Oleh: Fenty Erdianti Guru Bahasa Inggris SMP Muhammadiyah Cipanas-Cianjur