Mural-mural menjadi media para pejuang meluapkan perasaan ketika revolusi fisik.
Oleh: Dhedi Razak
Salah satu foto berupa corat-coret di trem listrik dengan huruf-huruf menyolok berisi kata-kata dalam Inggris: ‘Van Mook what are you doing’, yang secara harfiah bisa diartikan Van Mook ngapain lu ke sini.
Berupa ejekan terhadap upaya pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Mook untuk kembali menjajah Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya.
Tentara Belanda NICA (Netherlands Civil Administration) membonceng tentara sekutu pimpinan Inggris, untuk melucuti tentara Jepang dan melindungi para tawanan perang sekutu (Allied Prisoners of War) pada 16 September 1945.
Ketika itu, kota Jakarta sudah dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah RI.
Tapi ketika pasukan sekutu (Inggris) dan NICA ke Jakarta, dalam sekejap mata saja telah berubah dari kota yang tenang menjadi kota yang bergelora dilanda semangat revolusi.
Seluruh rakyat bangkit dan hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan beberapa senjata yang mereka rampas dari tentara Jepang, siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan.
Padahal ketika itu para pemuda patriot bangsa sudah mulai merebut serta menduduki gedung dan perusahaan-perusahaan penting dan vital.
Pada 1 September 1945 pekik Merdeka telah disahkan menjadi salam nasional resmi.
Sedangkan kata ‘Bung’ menjadi sangat populer seperti sebutan Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada masa revolusi fisik itu, setiap kita berjumpa dengan kawan akan saling meneriakkan: ‘Merdeka Bung’. Pernah NICA menembak mati seorang pemuda patriot di Kramat Raya, Jakarta Pusat, saat tanpa gentar meneriakkan ‘merdeka’, kata yang sangat dibenci oleh NICA.
Kalau para pemimpin bangsa berpacu dengan waktu untuk melengkapi negara RI yang baru mereka proklamirkan, maka dengan semangat kemerdekaan yang bergelora para pemuda patriot bangsa mulai melancarkan aksi-aksi dan kegiatan-kegiatan untuk menegakkan proklamasi Agustus 1945.
Mereka mencetuskan dan melampiaskan gelora perasaannya melalui tulisan-tulisan dan corat-coret di trem-trem kota, di bus-bus, gerbong-gerbong kereta api, di pagar-pagar dan tembok-tembok.
Para pemuda setelah proklamasi banyak yang berdatangan Gedong Juang ’45 di Menteng Raya 31, Jakarta Pusat menyatakan siap diberangkatkan ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan berbagai daerah lainnya.
Mereka membawa stensilan proklamasi kemerdekaan.
Maklum ketika proklamasi 17 Agustus 1945, akibat hubungan komunikasi yang masih sangat sederhana belum banyak diketahui di daerah-daerah. Berkata jasa para pemuda ini, akhirnya Indonesia telah merdeka hanya dalam selang waktu dekat telah diketahui di seluruh Tanah Air.
Seperti juga di Jakarta, di daerah-daerah terjadi perlawanan bersenjata dengan menggunakan bambu runcing.
Di Surabaya, para arek Suraboyo yang dipacu oleh seruan ‘Allahu Akbar’ Bung Tomo, dalam pertempuran mati-matian berhasil membunuh panglima Inggris, Jenderal Mallaby.
Kini kita sudah 76 tahun merdeka.
Memang belum seperti yang diharapkan Bung Karno bahwa kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju kemakmuran.
Masih puluhan juta mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Tapi kita perlu merenungi kata-kata Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1961
(*
Di tengah minusnya berita di suasana week end, di tengah letihnya saya lihat komentar-komentar di WAGroup, ditambah rasa mual-mual lihat berbagai komentar mereka yang gak suka dengan menangnya Taliban di Aghanistan, muncul berita bahwa Menlu Retno Marsudi sudah berkunjung di Kantor Perwakilan Politik Aghanistan di Dhoha, Qatar.
Republika mewartakan Menlu Retno mengharap Taliban pluralistik dalam susun pemetintahan dan elok terhadap perempuan serta tidak kasi ruang gerak pada teroris.
Linear, atau tidak, kedatangan Menlu Retno itu seusai kunjungan Director CIA William ke Kabul.
Dalam paradigma baru politik berfikir black and white yang pasti ketinggalan zaman, seolah rezim yang akan berkuasa di Afghanistan itu a-cultural.
USA dapat saja titip pesan pada Taliban sang calon penguasa. USA telah 23 tahun di sana, ethnografi Pastun telah mereka pahami. Maka banyak pengamat dan komentator Indonesia seerti kecele bule di kolong bale, bak kata orang Betawi.
Juga yang terpapar kecele para pekerja politik yang kesal dengan menangnya Taliban.
Ada pun aktifis permanen banyak yang kematian obor, bak kata Betawi. Akhire cuma soal PAN ikut kelompok tujuh parpol koalaisi yg di-olah-olah, atau mereka sedang bercapres ria.
Kalau pesan USA yang dibawa Director CIA itu ada, tentu soal eskalasi Laut China Selatan. Intelejen USA 25 Agustus kemarin telah rampungkan tugas, meski ada nota-bene belum maksimal. Tapi Joe Biden sempat berkata seakan mencari celah untuk deal dengan China. Ini protocol. China mau deal atau tidak, USA pasti ajukan resolusi ke MU PBB sebagai alasan legalisme hajar China. Indonesia mesti dikasi tau itu. Vietnam dan Singapura dikasi khobaroleh Wapres USA Kemala Harris.
Nah, kalau soal PAN gabung kelompok tujuh parpol koalasi dan soal capres rasanya mubazir diomongin.
Males banget itu. Kayak akrobat saja!