Luka Rasisme yang Tak Disembuhkan
Oleh: Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Rakyat Papua terus menggugat Pemerintah Indonesia. Akar-akar masalah Papua yang menjadi bara api dan luka membusuk tak kunjung ‘diobati’. Kondisinya mengkhawatirkan saat dibiarkan berlarut dalam waktu lama, terus menggorogoti sendi-sendi perdamaian dan keadilan yang jadi landasan hidup rakyat Papua.
Masalah yang digugat rakyat Papua adalah rasisme dan ketidakadilan. Keduanya merupakan jantung persoalan kekerasan serta kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara di Tanah Papua. Pastor Franz Magnis Suseno dengan lugas dan pedas mengatakan bahwa “Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia”.
Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map (2008), yang dipimpin oleh alm. Muridan S. Widjojo bersama dengan Ibu Adriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas, dan Rosita Dewi dengan teliti telah berhasil membedah dan mendiagnosa luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia. LIPI sudah berhasil membantu pemerintah menemukan bara apinya dan sekarang tugas pemerintah Indonesia melangkah untuk mematikan bara apinya, supaya tidak sibuk buang uang, tenaga, dan waktu untuk mengurus yang tidak hanya menghalau dan mengusir asapnya, namun apinya terus membara.
Ada empat penyakit menahun (kronis) yang ditemukan LIPI:
1. Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia
2. Kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian
3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papaua di tanah sendiri
4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Penulis telah berulang kali mengutip penegasan dari Franz Magniz-Suseno (2015:255-257) mengenai bara api itu, yang dia sebut sebagai luka membusuk dalam tubuh bangsa Indonesia. “Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus”.
Franz Magnis dengan terang benderang menuliskan bahwa “Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia”. “…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam”, tulisnya.
Saat ini, akar persoalan Papua tersebut tak bisa diselesaikan lagi dengan Otonomi Khusus (UU Nomor 21 Tahun 2001), karena landasan hukum tersebut telah menjadi masalah baru dan dinilai gagal oleh rakyat Papua, bahkan dianggap ‘mati’. Peneliti Kewilayahan LIPI, Cahyo Pamungkas menyatakan kepada Jubi, 2 Agustus 2020 bahwa Otsus Papua telah gagal sejak awal.
Kekerasan dan jatuhnya berbagai korban pelanggaran HAM di Tanah Papua bertahun-tahun dibiarkan terlantar dan tak mendapatkan tempat dan ruang. Lembaga yang semestinya menyelesaikan korban-korban kejahatan kemanusiaan dikubur dalam-dalam. Nama besar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tak pernah serius didiskusikan, inisiasi pembentukannya pun lenyap tak jelas. Hampir mustahil masalah ini terpecahkan jika bagian dari solusi itu dikubur satu persatu.
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).