Featured

Kasihilah Musuhmu Tanpa Mengorbankan Iman, Ideologi, dan Nasionalisme

99
×

Kasihilah Musuhmu Tanpa Mengorbankan Iman, Ideologi, dan Nasionalisme

Share this article

Kasihilah Musuhmu Tanpa Mengorbankan Iman, Ideologi, dan Nasionalisme

“Demi kemanusiaan, kita bisa bergaul dengan siapa saja: baik yang Kristen, Katolik, Muslim, Hindu, Budha, Konghucu, Atheis, dan Komunis, tapi kami tidak mengadaikan iman, ideologi dan nasionalisme kami kepada siapapun.”

Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman

Peribahasa “Anjing menggonggong, kafilah berlalu” memiliki arti bahwa meskipun ada orang yang menghujat atau mencemooh, kita tidak perlu menghiraukannya dan tetap melanjutkan perjalanan. Peribahasa ini menekankan pentingnya fokus pada tujuan dan tidak mudah menyerah meskipun ada rintangan.

Tuhan Yesus Kristus Raja Damai dan Sang Penebus dan Juruselamat umat manusia mengajarkan kepada kita semua:

“Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan menurunkan hujan bagi orang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Apakah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Matius 5:44-46; Lukas 6:27).

Bagian lain Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita semua:

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Dalam konteks di Tanah Papua Barat, belakangan banyak hoax dan cerita-cerita di media sosial, maka saya mengatakan dengan iman, ideologi dan nasionalisme saya mengatakan:

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka tulis dan katakan di media sosial”.

Dalam keadaan yang sulit dan berat seperti ini, saya selalu melihat manusia secara utuh dari perspektif Tuhan Allah. Supaya kita keluar dari kegelapan hati dan pikiran kita yang ditutupi dengan hati yang benci, dendam dan marah itu.

*Penyelesaian Konflik Papua Barat*

Syarat utama penyelesaian akar konflik Papua Barat adalah masing-masing pihak harus membebaskan atau memerdekakan diri dari perasaan dendam, benci, sakit hati, dan belenggu trauma masa lalu. Bagian ini tidak mudah dilakukan, namun saya percaya kita bisa melakukannya. Bagi kita, rakyat Papua Barat, belenggu itu pada gilirannya akan ‘membunuh dan menghancurkan’ potensi, talenta dan kekuatan yang ada dalam diri rakyat dan bangsa Papua Barat untuk memperjuangkan martabat kemanusiaan dan hak hakiki politik sebagai sebuah bangsa (baca buku: Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua: Yoman, 2024:16)

Saya melihat Prabowo Subianto dari empat sisi, yaitu:
1) Saya melihat Prabowo Subianto sebagai manusia secara utuh dari perspektif Allah;
2) Saya melihat Prabowo Subianto dari masa lalu yang buruk atau kejam pelaku jejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat;
3) Saya melihat Prabowo Subianto dari nilai-nilai kemanusiaan yaitu berkarakter jujur dan berbudi luhur yang ada di dalam hidupnya yang selalu tercermin dari pernyataan-pernyataannya yang polos dan lurus-lurus; dan
4) Saya tahu Prabowo Subianto adalah Presiden Republik Indonesia yang memiliki otoritas selama lima tahun 2024-2029.

Dalam empat perspektif ini, saya abadikan tentang doa, harapan, kerinduan dan impian rakyat dan bangsa saya yang tertindas yang mencari keadilan dengan cucuran air mata dan tetesan darah mereka sebagai berikut:

“Kita bisa belajar banyak dari adagium seperti ini yang telah berlaku di masyarakat umum, yaitu orang sakit tidak bisa menolong orang sakit. Hanya orang-orang sehat yang selalu menolong orang-orang sakit. Begitu pun dengan orang-orang yang berada dalam penjara kebencian dan dendam, mereka tidak akan pernah membebaskan diri dari bangsa yang menindasnya.” (Yoman, 2024:16)

Baca Juga  Rayyan Bocah Penderita Penyakit Langka Menerima Bantuan

“…saya percaya bahwa bagi orang-orang yang mau bersahabat dengan jujur dan tulus kepada musuh atau lawan saja yang menyelesaikan persoalan-persoalan sulit dengan semangat kesetaraan, saling percaya dan saling menghormati. Jalan ke arah itu, harus dirintis dalam persepsi dan paradigma baru dengan standar nilai kejujuran, kebenaran, keadilan dan kasih serta kedamaian. Dalam semangat itu, saya berusaha membuka jalan dengan pendekatan perspektif iman Kristiani: Kasihilah Allahmu, kasihilah sesama, dan kasihilah musuhmu”. (Yoman, 2024:16)

“Saya menulis apa yang saya tahu dan lihat untuk keseimbangan, dengan prinsip tidak akan dan tidak pernah mengorbankan atau menggadaikan iman, ideologi, nasionalisme, dan martabat kemanusìaan saya untuk uang, jabatan atau pun kedudukan”. (Yoman, 2024:16)

“Melalui buku-buku tentang fakta-fakta sejarah yabg telah saya tulis, berharap bisa menjadi bekal dan gambaran bagi Prabowo Subianto sebagai presiden untuk bisa melihat dan memahami akar konflik Papua dengan persepsi dan berspektif berbasis data, kajian ilmiah, yang obyektif, benar, jujur dan adil”. (Yoman, 2024:17)

Kalau ada dukungan fakta-fakta, maka keyakinan saya bahwa Prabowo Subianto dengan keluhuran budi dan karakter yang jujur dapat menyelesaikan akar konflik Papua Barat secara jujur, benar, adil dan bermartabat. Walaupun, keyakinan saya ini belum tentu benar dan belum tentu juga menjadi kenyataan. Namun demikian, saya berusaha, karena Tuhan selalu memberkati dan membuka jalan bagi setiap orang yang berjuang dengan tujuan-tujuan mulia untuk kehormatan martabat kemanusiaan”.

“Kebanyakan orang, dengan persepsi masa lalu Prabowo, orang bersikap skeptis tentang kepemimpinan Prabowo Subianto untuk penyelesaian akan konflik Papua Barat. Dalam sikap yang kaku dan pesimisme seperti itu, saya mencoba memberikan pemikiran optimis kepada kepemimpinan pemerintah Indonesia Prabowo Subianto, dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka”. (Yoman, 2024:17)

“Pertanyaan saya, apakah Presiden RI yang saya nilai berbudi luhur dan berkarakter jujur ini tetap memelihara akar konflik Papua Barat yang sudah seperti luka membusuk dan bernanah ini?”

Dalam buku ini (Yoman, 2024:17-18) saya tegaskan:

“Kita harus membangun jembatan baru dan kalau sudah ada jembatan lama, jangan kita bakar jembatannya, tapi kita merawat itu supaya kita bisa melewatinya sehingga tetap menjadi penghubung dan bertemu, sehingga bisa mulai berkomunikasi dan membicarakan masalah yang ada”.

“Bagi saya, ditolak atau diterima itu nomor yang paling terakhir, tapi mulailah bersuara dari bisikan hati nurani. Berbicara dari hati ke hati. Hindari watak berpura-pura dan munafik. Jangan kita korbankan orang banyak dengan watak penjilat dan tinduk-tunduk”.

“Mari, kita berbicara face to face dituntun nurani suci dan mulia, dengan menempatkan kita masing-masing sebagai manusia yang setara dan sederajat. Planet bumi ini milik kita bersama, semestinya tidak ada yang harus ditakuti, karena kita sama-sama menerima cahaya matahari, bulan dan bintang-bintang. Kita harus mengakhiri semua ketidakadilan dan kejahatan yang merendahkan martabat kemanusiaan di Tanah Papua Barat”.

Baca Juga  Komisi Fatwa MUI Pusat Menetapkan Vaksin Covid-19 Produksi Sinovac Halal dan Suci

“….saya ingin menyampaikan kepada Prabowo Subianto bahwa alasan-alasan atau dasar-dasar rakyat dan bangsa Papua Barat melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indonesia selama ini secara tertulis dalam bentuk buku. Dengan misi utama para penguasa jangan berpura-pura, bersilat lidah dan menghindar dari akar konflik yang sesungguhnya”.

Saya juga ingin menyampaikan kepada Prabowo Subianto bahwa kami rakyat dan bangsa Papua Barat cukup lama menderita. Sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang, kami merasakan dan mengalami dijajah, dimiskinkan, disingkirkan, dimarginalkan dari Tanah leluhur kami secara sistematis, masif, meluas oleh sistem kekuasaan Indonesia yang rasialis.

Masih dalam buku yang sama (Yoman, 2024:19) melihat situasi Papua Barat sebagai:

“Rakyat dan bangsa Papua Barat sebaiknya tidak menutup mata bahwa sekarang ini Prabowo Subianto sudah terpilih menjadi Presiden RI ke-8 dan negara-negara merdeka dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan mendukung dan mendengarkan dia. Jadi dalam posisi seperti ini rakyat dan bangsa Papua Barat, terutama para pejuang Papua Barat merdeka berada pada posisi dilematis perlu kerja keras”.

“Saya tidak berada dalam kotak berpikir atau persepsi sebagian besar atau mayoritas orang yang mendiskreditkan Prabowo Subianto sebagai salah satu pelaku kejahatan kemanusiaan. Itu memang fakta. Saya mau memulai merintis jalan atau membangun jembatan kepercayaan untuk duduk berdialog dengan Prabowo Subianto yang sudah terpilih sebagai Presiden RI ke-8 dalam upaya penyelesaikan akar konflik Papua Barat.”

“Saya memahami bahwa akar konflik Papua Barat seperti persoalan ketidakadilan, martabat kemanusiaan, hak asasi manusia, rasisme, kesamaan derajat, distorsi sejarah, status politik, marjinalisasi, genocide, dan dominasi kaum pendatang merupakan tantangan kemanusiaan dan nilai-nilai universal yang dimensi internasional tersebut harus disikapi. Misalnya, mendorong pelaksanaan UU Otsus No. 21 Tahun 2001 Pasal 46 yang menjamin “Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua…merumuskan dan menetapkan langlah-langkah rekonsiliasi”.

“Banyak jalan menuju Roma. Banyak jalan yang sesungguhnya telah disiapkan untuk menyelesaikan akar konflik Papua Barat ini yang terhenti. Dalam konteks inilah, saya mengungkapkan bahwa kita harus memulai dengan paradigma, perspektif dan persepsi baru dalam melihat konflik Papua Barat yang sudah atau menahun. Istilah Romo Frans Magnis dan Pastor Frans Lieshout adalah Papua adalah luka membusuk dan bernanah dalam tubuh Indonesia dan diaminkan oleh Pdt. Gomar Gultom dan Ibu Antie Solaiman”. (Yoman, 2024:20)

“Apabila kita ingin membangun dialog, baik rakyat Papua dengan Pemerintah Indonesia, kita harus berusaha melawan dalam diri kita yaitu sifat, watak, hati yang berpura-pura, munafik, perasaan sakit hati, benci, dendam kepada pihak-pihak yang lain yang berupaya dan berjuang menyelesaikab akar konflik Papua ini. Kita harus mendudukannya dalam suatu motivasi yang benar, murni, jujur dan terbuka. Karena kita bicarakan dan putuskan tentang nasib dan masa depan manusia, terutama rakyat dan bangsa Papua Barat”.

Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP); Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC); Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *