Jakarta_Timredaksi.com-Penyelesaian perkara tindak pidana melibatkan pelaku, korban, keluarga pihak terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian keadilan. Menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan, (restorative justice_red).
Menurut anggota komisi III DPR RI Nasir Djamil semangat keadilan restoratif (restorative justice) yang coba dikuatkan dalam RUU Kejaksaan, tidak akan terpenuhi tanpa adanya penyelesaian pembahasan RUU KUHP.
“Tanpa perbaikan atau tanpa penyelesaian RUU KUHP maka dalam pasal 8 ayat 4 yang disebut-sebut bisa mendorong untuk restorative justice di kejaksaan maka sulit untuk dilakukan,” kata Nasir dalam diskusi forum legislasi di gedung nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 7/12/2021.
Diinformasikan pasal 8 ayat 4 RUU tersebut disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, keadilan yang ada dalam masyarakat.
Anggota Fraksi PKS ini menuturkan sistem peradilan pidana Indonesia bahwa, jaksa memiliki asas oportunitas, hukum yang memberikan wewenang kepada jaksa agung untuk tidak melakukan penuntutan demi kepentingan umum.
“Pasal 8 Ayat 4 ini disebut-sebut bisa dijadikan dalil untuk restorative justice. Tetapi, ini sebenarnya umum saja. Secara eksplisit tidak bisa disebutkan dalam RUU. Kecuali asas oportunitas yang dimiliki jaksa agung tadi,” tandasnya
Anggota Komisi IIII menjelasan mengenai aturan tentang keadilan restoratif itu, menurutnya hal tersebut diatur melalui UU KUHP. Sebab dalam Pasal 42 diatur bahwa jaksa bisa dengan alasan atau tidak ada alasan bisa memberhentikan penuntutannya, baik dengan syarat atau tidak bersyarat.
“Misalnya, ketika seseorang usia 70 tahun melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya 4 tahun, itu bisa diselesaikan dengan restorative justice. Kemudian kerugian sudah diganti, tapi ancaman pidananya 4 tahun. Atau pidana yang ancaman hukumannya ringan. Jadi ada beberapa ketentuan dalam hukum acara pidana yang diperbaiki terkait restorative justice yang dilakukan oleh kejaksaan,” jelas Nasir.
Lebih jelas Nasir menerangkan, satu-satunya kewenangan untuk dapat melakukan
restorative justice tersebut adalah asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung.
Ia menyatakan dalam RUU KUHAP, kewenangan itu bukan dimiliki jaksa agung, jaksa penuntut umum yang bisa melakukan, syaratnya harus melapor ke kejaksaan negeri.
“Tapi jangankan RUU KUHAP, kitab hukum acara pidana saja sampai sekarang belum jelas nasibnya. Sudah digaris finish, tapi belum keluar dari garis finish,” pungkasnya (ror)
RESENSI BUKU Judul Buku: Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua Penulis: Dr. Socratez Yoman Penerbit:…
Timredaksi.com, Jakarta - Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral…
Timredaksi.com, Jakarta — Unit Pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor (UP PKB) Pulogadung menegaskan kembali pentingnya penegakan…
Timredaksi.com, Jakarta – Bagi yang akrab dengan dunia investasi, tentu sudah tidak asing dengan Tabungan…
Timredaksi.com, Kenyam — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Nduga, Nius Wakerkwa mengadakan Kunjungan Kerja…
Timredaksi.com, Jakarta - Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diusulkan dan dibahas bersama telah mengakomodasi masukan…