Timredaksi.com, Jakarta — Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kabar duka menyelimuti keluarga besar Pondok Pesantren Mardhotillah dan masyarakat Betawi. KH Moh. Naseh Nasrullah bin H. Mohammad wafat pada Selasa, 18 November 2025, dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci. Almarhum mengembuskan napas terakhir di dalam pesawat Garuda Indonesia GA 969 rute Madinah–Jakarta, sekitar tiga jam sebelum mendarat di Bandara Soekarno–Hatta pada pukul 02.55 WIB. Kepergian beliau di usianya menandai berakhirnya perjalanan panjang seorang ulama yang hidupnya dipersembahkan bagi pendidikan, dakwah, dan pembinaan akhlak umat.
Sejak mendirikan Pondok Pesantren Mardhotillah pada 2002 di kawasan Jalan Telaga (Depan Situ Pedongkelan), Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Kiai Naseh menanamkan tradisi keilmuan pesantren yang teduh, membumi, dan mudah diterima masyarakat urban. Pesantren yang berada di bawah Yayasan Ma’hadul Islam Mardhotillah Jakarta itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan pembinaan umat, mulai dari RA, MI, MTs, MA, Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah, Lembaga Dakwah, Koperasi, KBIHU, bimbingan Haji Umroh, majelis taklim, hingga kegiatan sosial-keagamaan yang diikuti masyarakat sekitar.
Menurut Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU sekaligus menantu almarhum, KH Nurul Badruttamam mengisahkan jejak pengabdian Kiai Naseh telah memberi warna penting bagi pendidikan Islam di wilayah Betawi. “Kiai Naseh bukan hanya membangun lembaga, tetapi membangun jiwa masyarakat. Beliau hadir sebagai guru yang sabar, penyambung tradisi keilmuan, dan penanam akhlak yang sangat kuat,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/11/25).
Ia menyebut bahwa prinsip almarhum selalu sama sejak awal: ilmu harus memuliakan manusia.
Kiai Nurul menambahkan bahwa salah satu ciri paling kentara dari almarhum adalah keberhasilannya menghadirkan suasana pesantren yang tenang dan teduh di tengah hiruk-pikuk kota. “Beliau berhasil membawa nuansa keilmuan ke lingkungan urban. Banyak anak muda Betawi yang menemukan arah hidup setelah dekat dengan beliau,” ungkapnya. Metode pendidikan Kiai Naseh, lanjutnya, tidak hanya bertumpu pada kajian kitab kuning, tetapi juga pendekatan dialog, keteladanan, dan kedekatan hati yang hangat.
Di mata masyarakat dan para santri, Kiai Naseh dikenal sebagai ulama berakhlak lembut, mudah tersenyum, dan tidak pernah mempersulit siapa pun yang meminta nasihat. “Warisan beliau bukan hanya bangunan pesantren, tetapi cara beliau memanusiakan manusia. Itu yang akan selalu dirindukan,” tutur Kiai Nurul sekaligus juga Ketua Yayasan Ma’hadul Islam Mardhotillah Jakarta.
Ia berharap nilai itu dapat terus menjadi napas pesantren yang kini diteruskan oleh para putra-putri dan santri senior.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya salah satu ulama Betawi yang memberi kontribusi panjang dalam tradisi pendidikan Islam Jakarta. Menurutnya, kiprah Kiai Naseh memperlihatkan bagaimana pesantren tetap relevan sebagai pusat pembinaan moral di tengah perubahan zaman. “Beliau contoh ulama yang istiqamah dalam pengabdian,” kata Gus Yahya.
Ia menambahkan, keteladanan almarhum tidak hanya hadir melalui gagasannya, tetapi terutama melalui kerendahan hati dan ketulusan akhlaknya. “Yang kita teladani dari beliau bukan hanya ilmunya, tetapi ketulusannya. Masyarakat mencintai beliau karena akhlaknya, dan itu lebih kuat dari apa pun,” ujar Gus Yahya.
Menteri Agama RI Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA. juga menyampaikan belasungkawa. Menurutnya, Pesantren Mardhotillah yang diasuh almarhum merupakan bukti bahwa pesantren memiliki peran strategis dalam membangun karakter masyarakat urban. “Kiai Naseh telah menunjukkan bagaimana lembaga pendidikan Islam bisa hidup, relevan, dan memberi pengaruh positif di kawasan perkotaan,” ujarnya.
Menag menilai bahwa nilai keteladanan, kebijaksanaan, dan kesederhanaan yang diwariskan almarhum akan terus menjadi inspirasi bagi banyak pihak. “Beliau ulama yang sederhana tetapi berdampak besar bagi lingkungannya. Semoga seluruh amal beliau menjadi cahaya bagi umat,” tuturnya.
Almarhum meninggalkan lima putra-putri: Nyai Hj. Lailah Fitriah, Nyai Hj. Lilih Rahmati, Nyai Hj. Lulu Lutfiah, Gus H. Fuad Baidhowie, dan Gus H. Ahmad Fauzi. Suasana duka menyelimuti keluarga, para santri, dan jamaah majelis taklim. Ucapan belasungkawa datang dari berbagai pihak, termasuk PBNU, Kemenag RI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PCNU dan MWCNU se-Jakarta Timur, FKUB, MUI, DMI, serta para tokoh masyarakat Betawi.
Kepergian Kiai Naseh yang lahir di Jakarta pada 03 April 1952, menutup satu bab penting dalam perjalanan dakwah masyarakat Betawi. Namun keteduhan akhlak, dedikasi pendidikan, dan karya pengabdian yang beliau bangun akan terus menjadi jejak abadi yang menyinari kehidupan para murid dan masyarakat.
Al-Fatihah.
Timredaksi.com, Jakarta — Peringatan Milad ke-113 Muhammadiyah menjadi refleksi penting bagi arah perjalanan bangsa. Organisasi…
Timredaksi.com, Depok — NU Care–LAZISNU Kota Depok bersama donatur, H. Hakim Muzayyan, menyalurkan 150 paket…
Timredaksi.com, Lima Puluh Kota — Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH)…
Timredaksi.com, Jakarta - PT Pelayaran Nasional Indonesia atau PT PELNI (Persero) menerima kunjungan Senior Director…
Timredaksi.com, Jakarta — Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum dua guru di Kabupaten Luwu menjadi…
Timredaksi.com, Cirebon – Menyambut datangnya musim penghujan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon mulai menggenjot sejumlah…