Production of Wealth: Pemasukan dan Pengeluaran Negara
Oleh: Patriawati Narendra, S.K.M., M.K.M
Production of Wealth masih menjadi tantangan dan permasalahan yang harus di wujudkan bangsa ini. Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana mewujudkan “production of wealth” ditengah keberlimpahan sumberdaya alam dan manusia. Sedangkan permasalahannya bagaimana membuat kelembagaan yang kuat demokratis, mengkreasikan manajemen, dan memilih personalia yang tepat untuk mewujudkannya.
Fokus tulisan singkat ini, bukan untuk mengelaborasi lebih dalam soal tantangan dan permasalahan tersebut. Tulisan ini hanya memperlihatkan satu perspektif dalam ilmu pengetahuan apa yang disebut sebagai “ekonomi politik klasik”. Persepktif ini melihat sumber utama pendapatan negara (primary income) berupa pendapatan dari pajak; pendapatan dari non-pajak, utamanya bagi hasil keuntungan dari BUMN; dan pendapatan lainnya yang sah. Dengan demikian, upaya yang harus dilakukan untuk dapat terlaksananya akumulasi kapital (uang) untuk mendukung “production of wealth” adalah meningkatkan penerimaan negara dari sumber-sumber primer tersebut. Dengan prinsip seperti ini, maka menurut perspektif ekonomi politik klasik, “production of wealth” akan dapat dijamin keberlanjutannya melalui kekuatan akumulasi kapital dari dalam negeri. Sementara, hutang luar negari, tidak diharamkan, tetapi harus difungsikan sebagai suplementary income.
Persoalannya, realitas empiris mengindikasikan bahwa sebahagian besar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung menerapkan pola “piramida terbalik”, yaitu menposisikan hutang luar negeri sebagai primary income. Implikasinya, dapat dimengerti jika akumulasi kapital dari primary income nyaris tidak terjadi, dan pada gilirannya, “production of wealth” dikontrol oleh pihak negara donor, yang notabene didukung oleh para kapitalis.
Diantara akar persoalan dalam pengelolaan hutang luar negeri Indonesia adalah cenderung memposisikan hutang luar negeri sebagai “primary income” (bukan suplementary income); lebih banyak mengalokasikan anggaran yang bersumber dari hutang luar negeri untuk sektor konsumtif, bukan sektor produktif; alokasi anggaran yang bersumber dari hutang luar negeri untuk sektor produktif (misalnya pembangunan infrastruktur perekonomian, pendidikan, dan kesehatan), cenderung dijadikan sebagai “ladang kurupsi” oleh para penyelenggara negara dan politisi partai politik.
Terkait akar persoalan memposisikan hutang luar negeri sebagai “primary income” implikasinya dapat dimengerti jika pada gilirannya production of wealth dikontrol oleh pihak negara donor, yang notabene didukung oleh para kapitalis. Kondisi ini kemudian semakin memburuk pada era reformasi, ketika para kapitalis internasional berkolaborasi dengan para kapitalis nasional dalam mendukung modal politik para politisi untuk berkontestasi mendapatkan kekuasaan pada arena Pemilu (Pilpres, Pileg, dan Pilkada).
Produksi yang dilakukan harusnya disesuaikan dengan kemampuan pembiayaan negara; bahwa tetap diperlukan utang sepanjang untuk membiayai produksi yang produktif dan memberikan edit value atau return yang bagus tidak jadi masalah. Parahnya di Indonesia utang luar negeri dipergunakan untuk belanja rutin seperti belanja pegawai, infrastruktur yang tidak tepat sasaran bahkan ada indikasi jadi bajakan baru dari elit-elit. Konon utang luar negeri juga ini semacam sudah menjadi ketergantungan negara kita karena ada rent seeking yang bermain; menjadi penghubung negara dengan pemberi kreditur, ada dari politisi dan pengusaha.
Masih dari perspektif ekonomi politik klasik, diantara langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk akumulasi kapital dari sisi pengeluaran negara adalah menyesuaikan alokasi/besaran pengeluran dengan kapasitas penerimaan, utamanya dari primary income; memberikan bobot alokasi anggaran lebih besar pada sektor productive (bukan konsumtif), yang dalam jangka menengah dan panjang dapat memberikan return; melakukan efesiensi penggunaan alokasi anggaran (melalui Monitoring dan evaluasi); dan mengontrol praktik penyalah gunaan anggaran (korupsi).
Efisiensi akan berjalan jika ada political will dan perubahan paradigma elit-elit eksekutif fan legislatif serta perubahan mentalitas birokrasi. Anggaran rutin dan anggaran pembangunan juga mengalami banyak kebocoran (korupsi). Hal ini seperti yang diungkapkan Henry Fawcett, bahwa dalam production of wealth, akumulasi kapital dapat dilakukan dengan efisiensi anggaran, artinya pengeluaran anggran harus tepat sasaran-tepat guna.
Untuk memastikan efisiensi, maka dari awal penyusunan APBN dan atau RAPBN harus didasarkan pada data, apa yang menjadi skala prioritas (penting dan mendesak) untuk dianggarkan dalam satu tahun anggaran belanja (Rencana Pembangunan Jangka Pendek), seterusnya sampai jangka panjang baru kemudian merampingkan struktur birokrasi yang menjadi eksekutornya, dan memperbaiki manajemen kerja birokrasi. Jadi ini harus satu kesatuan.
Dengan demikian, negara bisa atau terjadi saving-negara tetap bisa berproduksi secara berkelanjutan tanpa harus menggadaikan sumberdaya alamnya pada pihak luar. Dengan dilakukannya hal tersebut baik production, distribution, dan exchange akan menjamin terwujudnya nation wealth yang hijau (utamanya ekonomi hijau) agar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tercapai. Semoga…!!!
RESENSI BUKU Judul Buku: Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua Penulis: Dr. Socratez Yoman Penerbit:…
Timredaksi.com, Jakarta - Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral…
Timredaksi.com, Jakarta — Unit Pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor (UP PKB) Pulogadung menegaskan kembali pentingnya penegakan…
Timredaksi.com, Jakarta – Bagi yang akrab dengan dunia investasi, tentu sudah tidak asing dengan Tabungan…
Timredaksi.com, Kenyam — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Nduga, Nius Wakerkwa mengadakan Kunjungan Kerja…
Timredaksi.com, Jakarta - Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diusulkan dan dibahas bersama telah mengakomodasi masukan…