News

Ketua DPD RI Sebut Hikmah Terbesar Pandemi Adalah Terungkapnya Persoalan Fundamental Bangsa

JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berbicara mengenai hikmah dari pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia. Menurutnya, pandemi membuka kesadaran terhadap berbagai persoalan fundamental yang menjadi kelemahan bangsa dan negara ini.

Hal tersebut disampaikan LaNyalla saat menjadi keynote speaker web seminar (webinar) yang diadakan Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah Indonesia (DEMFASNA) dengan tema ‘Menakar Ulang Kebijakan PPKM Darurat: Perlukah Diperpanjang?’, Selasa (3/8/2021).

Dalam kesempatan itu, Ketua DPD RI menyatakan tidak setuju dengan wacana yang menyatakan negara ini telah gagal dalam menangani pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret 2020.

LaNyalla juga tidak sependapat dengan tudingan yang menyebut pemerintah gagap dalam melakukan penanganan pandemi karena membuat kebijakan yang berubah-ubah sehingga puncaknya menyebabkan terjadinya gelombang kedua pandemi yang sempat membuat fasilitas kesehatan dan sarana pendukungnya nyaris kolaps, termasuk gugurnya ratusan tenaga kesehatan yang bertugas di garda terdepan.

“Bagi saya, sampai hari ini pemerintah masih terus berupaya dan bekerja untuk menangani pandemi ini. Memang tidak mudah, menangani pandemi di negara kepulauan seluas Indonesia,” ujar LaNyalla.

Senator Jawa Timur ini pun mengajak semua elemen bangsa untuk melakukan refleksi dan merenungkan perjalanan bangsa. LaNyalla mengajak seluruh elemen merefleksikan mengapa sebagai bangsa, kita merasakan kesulitan dan sejumlah hambatan dalam menghadapi pandemi Covid.

“Hikmah terbesar dari pandemi Covid-19 bagi bangsa dan negara Indonesia yang bisa kita petik adalah terbukanya, atau terungkapnya persoalan-persoalan fundamental di banyak sektor yang selama ini tertutup dan belum kita pikirkan dengan serius dan matang,” tuturnya.

Dijelaskan LaNyalla, persoalan fundamental pertama adalah bagaimana ketahanan sektor kesehatan Indonesia yang ternyata rentan dan rapuh, di mana seluruh pihak menyaksikan langsung bagaimana fasilitas kesehatan yang nyaris kolaps dan angkat bendera putih. Kemudian Persoalan fundamental kedua adalah bagaimana ketahanan sektor sosial negara ini.

“Di mana pemerintah ternyata juga kesulitan untuk secara cepat dan mendadak harus menyalurkan bantuan sosial kepada warga negaranya. Terutama mereka yang terdampak secara langsung,” kata LaNyalla.

Persoalan fundamental selanjutnya adalah mengenai ketahanan sektor pendidikan di Indonesia. LaNyalla menyebut ketika proses belajar mengajar harus dibatasi dan dilakukan secara online, terjadi ketidaksiapan infrastruktur dan kualitas pembelajaran yang akhirnya tergambar secara nyata bahwa Indonesia tidak siap dan tidak mampu memenuhi standar.

“Dan persoalan fundamental yang keempat, bagaimana penyelamatan ekonomi rakyat, yang ternyata usaha kecil rakyat, yang didominasi usaha mikro dan kecil, tidak mampu secara cepat bertransformasi dari market space ke market place,” jelasnya.

“Sementara faktanya, marketplace yang ada didominasi barang-barang impor. Anak bangsa hanya menjadi pedagang yang menjual melalui dropshipper besar yang ada. Alias importir besar. Inilah pekerjaan besar kita sebagai bangsa yang akan merayakan kemerdekaan ke-76 tahun pada 17 Agustus nanti,” sambung LaNyalla.

Menurut alumnus Universitas Brawijaya ini, memang sudah ada gagasan untuk melakukan lockdown atau karantina secara total di awal pandemi Corona. Hanya saja hitungan saat itu, kata LaNyalla, dibutuhkan dana sekitar Rp 400 triliun untuk membiayai konsekuensi dari kebijakan lockdown.

“Bukan angka yang kecil. Meskipun sekarang, pemerintah akhirnya telah mengeluarkan anggaran Rp 1.000 triliun lebih. Tetapi saat itu, kalkulasi Rp 400 triliun untuk lockdown, bukan persoalan gampang. Karena ternyata ada beberapa faktor ikutan yang harus dipastikan agar kebijakan tersebut berjalan,” jelasnya.

Faktor ikutan pertama yang dimaksud LaNyalla adalah harus adanya dana langsung yang siap digelontorkan kepada rakyat yang terkena kebijakan lockdown. Hal tersebut sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada Bab III Pasal 7 dan Pasal 8 yang menyebutkan Pemerintah wajib menjamin dan memberikan pelayanan kebutuhan dasar medis, pangan dan kebutuhan sehari-hari selama karantina, termasuk kebutuhan pakan ternak milik warga.

“Kedua, bagaimana mekanisme menyalurkan dana Rp 400 triliun tersebut secara cepat dan hitungan hari sebelum lockdown dilakukan. Dan dipastikan dapat diterima oleh seluruh rakyat yang dikarantina?” ungkap LaNyalla.

Penyaluran dana karantina juga dinilai akan menjadi persoalan yang tidak mudah lantaran tidak semua rakyat bankable atau memiliki akses dengan bank, apalagi akurasi database warga negara Indonesia yang seringkali menjadi persoalan di lapangan. LaNyalla pun menyebut keadaan Indonesia tidak sama dengan negara-negara yang memutuskan menerapkan lockdown saat awal pandemi.

“Sebagai contoh saja. Saat pemerintah Australia mengumumkan akan melakukan lockdown untuk penduduk Sydney, maka seluruh warga Sydney langsung menerima transfer dana dari pemerintah untuk kebutuhan hidup sebesar Rp 8 juta rupiah untuk satu minggu yang ditransfer melalui rekening mereka,” sebutnya.

LaNyalla menilai pemberian bantuan tersebut membuat warga negara Australia tertib berada di rumah. Subsidi dari pemerintah Australia membuat warganya tidak harus keluar rumah untuk mencari nafkah agar bisa membeli kebutuhan pokok.

“Itulah mengapa tadi saya sampaikan, bahwa pandemi ini membuka dan menunjukkan kelemahan kita sebagai bangsa yang sudah 76 tahun membangun, namun masih ada persoalan-persoalan fundamental di banyak sektor yang harus kita kerjakan hari ini,” urai LaNyalla.

Oleh karenanya, mantan Ketua Umum PSSI tersebut mengajak seluruh pihak menyatukan kekuatan bangsa. LaNyalla meminta seluruh elemen masyarakat melakukan koreksi arah perjalanan bangsa dengan melihat persoalan-persoalan fundamental yang ada di negara Indonesia.

“Mari kita bersatu-padu untuk membantu pemerintah melakukan penataan yang simultan, antara kebutuhan mendesak, dengan perbaikan fundamental sektor-sektor ketahanan yang strategis tersebut. Termasuk memperkuat kemandirian pangan bangsa ini,” imbaunya.

Webinar DEMFASNA menghadirkan 3 narasumber yang menjadi pembicara. Mereka adalah Ketua Umum Perkumpulan Pengacara Syariah dan Hukum Indonesia,Dr Ilyas Indra, Politisi Faldo Maldini, serta Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Dr Fauzan Ali Rasyid.

Acara yang dipandu Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) FSH UIN Bandung, Arini Oktaviana tersebut juga diisi oleh sambutan dari Ketua Forum Dekan FSH Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI)  se-Indonesia, Dr A Tholabi Kharlie. Kemudian Penanggung Jawab DEFASNA, Azizah Ratu Buana Khan, dan Ketua DEMA Fakultas Syarian IAIN Palangkaraya, Andri Mulyanto. (*)

Salsa Sabrina

Recent Posts

La Fedumu Resmi Pimpin DPD Tani Merdeka Indonesia Muna, Siap Perjuangkan Hak Petani

Timredaksi.com, Kendari – Dewan Pengurus Daerah (DPD) Tani Merdeka Indonesia (TMI) Kabupaten Muna resmi dikukuhkan…

1 day ago

Mangkir dari Perintah Pengadilan, Perusahaan Istri Menteri Perindustrian Diajukan PKPU

Timredaksi.com, Jakarta - Polemik hukum melibatkan PT Asiana Senopati, perusahaan properti milik Loemongga HS, istri…

2 days ago

Harnas UMKM: Pemerintah dan ABDSI Teguhkan Komitmen Dorong UMKM Naik Kelas

Timredaksi.com, Jakarta – Peringatan Hari Nasional Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Harnas UMKM) 2025 menjadi…

4 days ago

GEREJA BENTENG TERAKHIR BAGI RAKYAT & BANGSA PAPUA BARAT

GEREJA BENTENG TERAKHIR BAGI RAKYAT & BANGSA PAPUA BARAT Oleh: Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman…

6 days ago

Bintang Muda Indonesia (BMI) Kabupaten Garut Resmi Dilantik, Siap Dukung Kemenangan Partai Demokrat

Timredaksi.com, Garut – DPN Bintang Muda Indonesia (BMI) secara resmi melantik Asep Achlan sebagai Ketua…

6 days ago

Pembela Amanat Sejati (PASTI) Berbagi Kebaikan Kepada Anak Yatim dan Dhuafa

Timredaksi.com, Jakarta - Hari ini Jumat, tanggal 08-08-2025 Organisasi Baru yang bernama Pembela Amanat Sejati…

1 week ago